ILMU PENGEATAHUAN DALAM ISLAM
Pandangan manusia dewasa ini hampir selalu terfokus kepada barat. Begitu juga dengan umat Islam, sekarang ini banyak yang terpesona dengan barat. Mereka banyak yang konsumtif terhadap produk-produk ilmu pengetahuan barat dan lupa akan tradisi sendiri. Hal ini memprihatinkan sebagian pemikir islam dan menuntut adanya sikap terhadap barat diiringi arahan menuju pintu-pintu ilmu pengetahuan dalam islam yang selama ini telah lama dimuseumkan, disimpan, bahkan tidakdiperdulikan.
Penulis hendak menawarkan bagaimana umat islam seharusnya bersikap menghadapi perkembangan dan hegemoni ilmu pengetahuan barat sekaligus menawarkan ilmu pengetahuan dalam Islam sebagai alternatif.
Problem ilmu pengetahuan barat
Sebelum pembicaraan berjalan lebih jauh ada baiknya mengetahui apa itu barat. Syed Muhammad Naquib al-Attas mendefiniskan barat sebagai:
‘hasil warisan yang telah dipupuk oleh bangsa-bangsa Eropa dari kebudayaan Yunani Kuno yang kemudian dipadukan dengan kebudayaan Romawi dan unsur-unsur lain dari hasil citarasa dan gerak-gerik bangsa-bangsa Eropa sendiri, khususnya Jerman, Inggris dan Prancis’
Al-Attas bermaksud bahwa Barat itu berasal dari perpaduan beberapa unsur-unsur penting yang diambil dari peradaban lain. Dari Yunani kuno mereka mengambil filsafat, kenegaraan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kesenian. Perundang-undangan, hukum dan ketatanegaraan mereka ambil dari Romawi. Agama Kristen yang sudah bukan asli lagi, melainkan kelanjutan estafet agama Yahudi mereka ambil dari asia barat.
Dewasa ini umat Islam sudah banyak dipengaruhi oleh barat. Dalam hal ilmu pengetahuan saja banyak kalangan akademisi yang beridentitas muslim tapi berepistemologi barat. Mereka lebih cenderung kepada barat. Sebagian lain juga mengeliminasi peran islam dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Fazlurrahman misalnya, memandang ilmu pengetahuan sudah benar dan tidak perlu islamisasi. Abdussalam juga begitu. Dia memandang universalitas ilmu pengetahuan adalah keharusan. Tidak ada ilmu pengetahuan dalam islam sebagaimana tidak ada ilmu pengetahuan dalam Kristen, Hindu, Budha, dst. Juga Abdul Karim Souroush, memandang proses islamisasi ilmu pengetahuan tidak logis dan tidak mungkin. Selain itu, Bassam Tibbi juga berpendirian islamisasi ilmu pengetahuan sebagai pribumisasi.
Ilmu pengetahuan di Barat memang berkembang dan menjadi hegemonik seperti halnya islam juga pernah berjaya. Akan tetapi, islam memiliki tradisi ilmu pengetahuan tersendiri yang berbeda dengan ilmu pengetahuan barat. Tradisi keilmuan barat pasti terkait dengan era modern yang menjadi sebutan dan "amukan" barat terhadap agama yang bagi mereka tidak mendukung perkembangan ilmu pengetahuan. Sedangkan islam tidak mengenal istilah modern. Sebab, modern adalah istilah konseptual yang menandakan ketidakmampuan agama untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Dalam Islam, apapun ilmu pengetahuan itu, menurut Seyyed Hossein Nasr pasti terkait dengan agama, berhubungan dengan konsep-konsep seminal yang termaktub di dalam sumber-sumber normatif Islam.
Bagi barat, agama memang harus "pensiun" dan tidak lagi berperan dalam kehidupan, termasuk dalam ilmu pengetahuan, kalaupun masih digunakan akan tidak dapat dipahami hakekatnya atau posisinya terpisah dari ilmu pengetahuan. Francis Bacon setuju dengan asumsi ini. Ilmu pengetahuan dan agama adalah dua hal yang terpisah, karena tempat agama adalah wahyu, sedangkan ilmu pengetahuan tempatnya akal. Immanuel Kant juga mengisyaratkan bahwa ilmu pengetahuan tidak lagi membutuhkan metafisika (baca: agama), karena itu hanya ilusi transenden. Semakin lama agama semakin ditinggalkan dan memuncak pada usaha menghilangkan pemikiran tentang Tuhan dengan perkataan Nietzche "God is death" . Hancurlah sudah peran agama dan metafisika yang ini juga disebut oleh Jean Francois Lyotard sebagai sebuah keharusan bagi manusia untuk mengikutinya.
Sekarang ini ilmu pengetahuan di barat sudah lumpuh dan tidak menentu karena meninggalkan agama. Barat sudah tidak senang dengan agama, dia harus dipisahkan, disubordinasikan dan dikucilkan dari kehidupan sosial (Sekularisme) bahkan harus dibuang (atheisme) agar kemajuan tercapai. Benarlah pandangan Einstein bahwa Ilmu pengetahuan yang berjalan tanpa agama adalah lumpuh.
Ilmu pengetahuan barat berkembang melalui Rasionalisme dan Empirisisme. Rasionalisme selalu saja menjadikan akal sebagai pusat ilmu pengetahuan dan kebenaran.semboyannya yang terkenal adalah Cogito Ergo Sum yang artinya aku berpikir maka aku ada. Namun, menurut Seyyed Hossein Nasr, aku yang dimaksud Descartes ini bukan aku yang transenden seperti yang pernah dikatakan al-Hallaj, yaitu: ana al-Haq, atau akulah Yang Benar. Yang kedua yaitu Empirisisme, yaitu paham keilmuan yang berpedoman kepada fenomena alam indrawi saja sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran. Keduanya, baik Rasionalisme maupun Empirisisme tidak menerima otoritas agama, menolak wahyu dan intuisi yang dalam tradisi Islam ketiganya menjadi sumber ilmu pengetahuan. Menurut Naquib al-Attas keduanya hanya memandang realitas sebatas yang ada di alam indrawi dan diiringi dengan reduksi dan pemaksaan kemampuan indra dan akal hanya untuk memandang realitas fisik saja. Jika keduanya (rasionalisme dan empirisisme) menerima tingkatan akal dan pengalaman, juga kesadaran manusia yang terbatas maka tidak ada akal untuk mengira-ngira bahwa tidak ada tingkat pengalaman dan kesadaran manusia yang melampaui batasan akal dan pengalaman yang normal dimana ada tingkatan-tingkatan kesadaran intelektual dan spiritual serta pengalaman transendental yang batasannya hanya diketahui oleh Tuhan.
Sain di barat terlihat sangat reduksionistik. Kebenaran sain, dalam pandangan barat itu kalau tidak rasional, empiris, obyektif atau subyektif, yang masing-masing berdiri sendiri tanpa terkait satu dan lainnya. Barat terlalu mereduksi akal hanya sebatas pemahaman akal saja dan menafikkan apa yang ada di luar jangkauan akal; barat hanya mengedepankan realitas empiris dan lupa akan apa yang ada di baliknya; barat hanya menggubris obyek atau subyek atau kedua-duanya dan lupa bahwa keduanya itu tidak terpisahkan dan terkait dengan ‘Yang Sakral’, yaitu Tuhan sebagai pemberi pengetahuan sejati yang bukan kemajuan yang berarti berubah-ubah atau evolutif; Barat tidak tahu bahwa wahyu di dalam Islam itu final dan kebenaran tertinggi beserta intuisi yang keduanya menjadi sumber pengetahuan.
Newtonian
Tuhan bagi Newton adalah itu yang di dalam diri-Nya terdapat semua hal sebagai prinsip-prinsip dan ruang mereka.
Bagi Newton Sang Ayah (baca: Tuhan) itu tidak bergerak, karena tidak ada tempat cocok untuknya daripada kebutuhan alam yang abadi. Semua yang ada di alam bergerak dari tempat ke tempat
Dari pernyataan ini jelaslah ketika Newton membicarakan tubuh atau pusat gravitasi sistem tata surya bergerak pada ruang absolut yang tidak terbatas pada batasan matematikal dan mekanikal yang secara superfisial sudah jelas-dia juga bermaksud bahwa mereka juga bergerak melalui Tuhan-pada kehadiran Pencipta yang abadi dan mahatahu segala sesuatu.
Newton gagal untuk melihat bahwa ruang dan waktu (flowing equably without regar to anything external) yang absolut sebagaimana digambarkan pada bahasan utama Prinsipia menolak kemungkinan bahwa sesuatu dapat secara jelas diungkapkan bergerak dengan mengacu kepada sesuatu itu, kecuali hanya kepada mereka dengan mengacu kepada sesuatu yang lain
Tentang waktu absolut bagaimana bisa newton mengungkapkannya dengan “flowing” padahal waktu itu yang sudah dipahami oleh ilmu pengetahuan modern adalah campuran 2 konsepsi. Satu sisi, waktu disusun sebagai kelanjutaan matematis yang sama yang mencakup masa lalu yang tidak terbatas hingga masa depan yang juga tidak terbatas.
Positifisme
Saintisme
Historisisme
Falsifikasi atau verifikasi Karl Popper
Teori Paradigma Thomas S Kuhn
Hans Reichenbach
Ilmu pengetahuan humanistik
Sains di barat sudah semakin jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, semakin tidak humanis, dangkal, terlalu mekanistis, pesimis dalam memandang manusia dan hanya merefleksikan keterpurukan pandangan hidup. Namun, keadaan ini berbeda dengan ilmu pengetahuan humanistis yang digagas oleh Abraham Harold Maslow. Kemunculan ragam ilmu pengetahuan ini telah mengusung rehumanisasi ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan yang menjadikan manusia sebagai obyek materianya. Maslow mengatakan: “sambil membantu mendehumanisasikan planet, batu dan bintang, kita akan semakin menyadari bahwa tidaklah perlu mendehumanisasikan manusia dan mengingkari tujuan-tujuan kemanusiaannya”.
Menguji ilmu pengetahuan barat secara kritis
Metode ilmu pengetahuan modern
Konsepsi
Presuposisi keberadaan dunia eksternal yang membentuk alam dan proses-proses natural
Konsep dunia
Klasifikasi ilmu pengetahuan, batasan dan hubungannya dengan ilmu pengetahuan lain
Aspek empiris dan rasional
Pengaruh bagi nilai dan moral
Pengaruh ilmu pengetahuan bagi sosial.
Penulis hendak menawarkan bagaimana umat islam seharusnya bersikap menghadapi perkembangan dan hegemoni ilmu pengetahuan barat sekaligus menawarkan ilmu pengetahuan dalam Islam sebagai alternatif.
Problem ilmu pengetahuan barat
Sebelum pembicaraan berjalan lebih jauh ada baiknya mengetahui apa itu barat. Syed Muhammad Naquib al-Attas mendefiniskan barat sebagai:
‘hasil warisan yang telah dipupuk oleh bangsa-bangsa Eropa dari kebudayaan Yunani Kuno yang kemudian dipadukan dengan kebudayaan Romawi dan unsur-unsur lain dari hasil citarasa dan gerak-gerik bangsa-bangsa Eropa sendiri, khususnya Jerman, Inggris dan Prancis’
Al-Attas bermaksud bahwa Barat itu berasal dari perpaduan beberapa unsur-unsur penting yang diambil dari peradaban lain. Dari Yunani kuno mereka mengambil filsafat, kenegaraan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kesenian. Perundang-undangan, hukum dan ketatanegaraan mereka ambil dari Romawi. Agama Kristen yang sudah bukan asli lagi, melainkan kelanjutan estafet agama Yahudi mereka ambil dari asia barat.
Dewasa ini umat Islam sudah banyak dipengaruhi oleh barat. Dalam hal ilmu pengetahuan saja banyak kalangan akademisi yang beridentitas muslim tapi berepistemologi barat. Mereka lebih cenderung kepada barat. Sebagian lain juga mengeliminasi peran islam dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Fazlurrahman misalnya, memandang ilmu pengetahuan sudah benar dan tidak perlu islamisasi. Abdussalam juga begitu. Dia memandang universalitas ilmu pengetahuan adalah keharusan. Tidak ada ilmu pengetahuan dalam islam sebagaimana tidak ada ilmu pengetahuan dalam Kristen, Hindu, Budha, dst. Juga Abdul Karim Souroush, memandang proses islamisasi ilmu pengetahuan tidak logis dan tidak mungkin. Selain itu, Bassam Tibbi juga berpendirian islamisasi ilmu pengetahuan sebagai pribumisasi.
Ilmu pengetahuan di Barat memang berkembang dan menjadi hegemonik seperti halnya islam juga pernah berjaya. Akan tetapi, islam memiliki tradisi ilmu pengetahuan tersendiri yang berbeda dengan ilmu pengetahuan barat. Tradisi keilmuan barat pasti terkait dengan era modern yang menjadi sebutan dan "amukan" barat terhadap agama yang bagi mereka tidak mendukung perkembangan ilmu pengetahuan. Sedangkan islam tidak mengenal istilah modern. Sebab, modern adalah istilah konseptual yang menandakan ketidakmampuan agama untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Dalam Islam, apapun ilmu pengetahuan itu, menurut Seyyed Hossein Nasr pasti terkait dengan agama, berhubungan dengan konsep-konsep seminal yang termaktub di dalam sumber-sumber normatif Islam.
Bagi barat, agama memang harus "pensiun" dan tidak lagi berperan dalam kehidupan, termasuk dalam ilmu pengetahuan, kalaupun masih digunakan akan tidak dapat dipahami hakekatnya atau posisinya terpisah dari ilmu pengetahuan. Francis Bacon setuju dengan asumsi ini. Ilmu pengetahuan dan agama adalah dua hal yang terpisah, karena tempat agama adalah wahyu, sedangkan ilmu pengetahuan tempatnya akal. Immanuel Kant juga mengisyaratkan bahwa ilmu pengetahuan tidak lagi membutuhkan metafisika (baca: agama), karena itu hanya ilusi transenden. Semakin lama agama semakin ditinggalkan dan memuncak pada usaha menghilangkan pemikiran tentang Tuhan dengan perkataan Nietzche "God is death" . Hancurlah sudah peran agama dan metafisika yang ini juga disebut oleh Jean Francois Lyotard sebagai sebuah keharusan bagi manusia untuk mengikutinya.
Sekarang ini ilmu pengetahuan di barat sudah lumpuh dan tidak menentu karena meninggalkan agama. Barat sudah tidak senang dengan agama, dia harus dipisahkan, disubordinasikan dan dikucilkan dari kehidupan sosial (Sekularisme) bahkan harus dibuang (atheisme) agar kemajuan tercapai. Benarlah pandangan Einstein bahwa Ilmu pengetahuan yang berjalan tanpa agama adalah lumpuh.
Ilmu pengetahuan barat berkembang melalui Rasionalisme dan Empirisisme. Rasionalisme selalu saja menjadikan akal sebagai pusat ilmu pengetahuan dan kebenaran.semboyannya yang terkenal adalah Cogito Ergo Sum yang artinya aku berpikir maka aku ada. Namun, menurut Seyyed Hossein Nasr, aku yang dimaksud Descartes ini bukan aku yang transenden seperti yang pernah dikatakan al-Hallaj, yaitu: ana al-Haq, atau akulah Yang Benar. Yang kedua yaitu Empirisisme, yaitu paham keilmuan yang berpedoman kepada fenomena alam indrawi saja sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran. Keduanya, baik Rasionalisme maupun Empirisisme tidak menerima otoritas agama, menolak wahyu dan intuisi yang dalam tradisi Islam ketiganya menjadi sumber ilmu pengetahuan. Menurut Naquib al-Attas keduanya hanya memandang realitas sebatas yang ada di alam indrawi dan diiringi dengan reduksi dan pemaksaan kemampuan indra dan akal hanya untuk memandang realitas fisik saja. Jika keduanya (rasionalisme dan empirisisme) menerima tingkatan akal dan pengalaman, juga kesadaran manusia yang terbatas maka tidak ada akal untuk mengira-ngira bahwa tidak ada tingkat pengalaman dan kesadaran manusia yang melampaui batasan akal dan pengalaman yang normal dimana ada tingkatan-tingkatan kesadaran intelektual dan spiritual serta pengalaman transendental yang batasannya hanya diketahui oleh Tuhan.
Sain di barat terlihat sangat reduksionistik. Kebenaran sain, dalam pandangan barat itu kalau tidak rasional, empiris, obyektif atau subyektif, yang masing-masing berdiri sendiri tanpa terkait satu dan lainnya. Barat terlalu mereduksi akal hanya sebatas pemahaman akal saja dan menafikkan apa yang ada di luar jangkauan akal; barat hanya mengedepankan realitas empiris dan lupa akan apa yang ada di baliknya; barat hanya menggubris obyek atau subyek atau kedua-duanya dan lupa bahwa keduanya itu tidak terpisahkan dan terkait dengan ‘Yang Sakral’, yaitu Tuhan sebagai pemberi pengetahuan sejati yang bukan kemajuan yang berarti berubah-ubah atau evolutif; Barat tidak tahu bahwa wahyu di dalam Islam itu final dan kebenaran tertinggi beserta intuisi yang keduanya menjadi sumber pengetahuan.
Newtonian
Tuhan bagi Newton adalah itu yang di dalam diri-Nya terdapat semua hal sebagai prinsip-prinsip dan ruang mereka.
Bagi Newton Sang Ayah (baca: Tuhan) itu tidak bergerak, karena tidak ada tempat cocok untuknya daripada kebutuhan alam yang abadi. Semua yang ada di alam bergerak dari tempat ke tempat
Dari pernyataan ini jelaslah ketika Newton membicarakan tubuh atau pusat gravitasi sistem tata surya bergerak pada ruang absolut yang tidak terbatas pada batasan matematikal dan mekanikal yang secara superfisial sudah jelas-dia juga bermaksud bahwa mereka juga bergerak melalui Tuhan-pada kehadiran Pencipta yang abadi dan mahatahu segala sesuatu.
Newton gagal untuk melihat bahwa ruang dan waktu (flowing equably without regar to anything external) yang absolut sebagaimana digambarkan pada bahasan utama Prinsipia menolak kemungkinan bahwa sesuatu dapat secara jelas diungkapkan bergerak dengan mengacu kepada sesuatu itu, kecuali hanya kepada mereka dengan mengacu kepada sesuatu yang lain
Tentang waktu absolut bagaimana bisa newton mengungkapkannya dengan “flowing” padahal waktu itu yang sudah dipahami oleh ilmu pengetahuan modern adalah campuran 2 konsepsi. Satu sisi, waktu disusun sebagai kelanjutaan matematis yang sama yang mencakup masa lalu yang tidak terbatas hingga masa depan yang juga tidak terbatas.
Positifisme
Saintisme
Historisisme
Falsifikasi atau verifikasi Karl Popper
Teori Paradigma Thomas S Kuhn
Hans Reichenbach
Ilmu pengetahuan humanistik
Sains di barat sudah semakin jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, semakin tidak humanis, dangkal, terlalu mekanistis, pesimis dalam memandang manusia dan hanya merefleksikan keterpurukan pandangan hidup. Namun, keadaan ini berbeda dengan ilmu pengetahuan humanistis yang digagas oleh Abraham Harold Maslow. Kemunculan ragam ilmu pengetahuan ini telah mengusung rehumanisasi ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan yang menjadikan manusia sebagai obyek materianya. Maslow mengatakan: “sambil membantu mendehumanisasikan planet, batu dan bintang, kita akan semakin menyadari bahwa tidaklah perlu mendehumanisasikan manusia dan mengingkari tujuan-tujuan kemanusiaannya”.
Menguji ilmu pengetahuan barat secara kritis
Metode ilmu pengetahuan modern
Konsepsi
Presuposisi keberadaan dunia eksternal yang membentuk alam dan proses-proses natural
Konsep dunia
Klasifikasi ilmu pengetahuan, batasan dan hubungannya dengan ilmu pengetahuan lain
Aspek empiris dan rasional
Pengaruh bagi nilai dan moral
Pengaruh ilmu pengetahuan bagi sosial.