PERANAN GURU DALAM KELAS
STRUKTUR DAN HUBUNGAN-HUBUNGAN PERANAN DALAM KELAS
Kini kelas dikenal sebagai masyararkat kecil, karena itu, sudah lazim dan perlu kelas tersebut memiliki moralitas yang seimbang dengan besar ukurannya, corak elemen, dan fungsinya. Yang dimaksud dengan moralitas disini adalah kedisiplinan. Dilain pihak, masyarakat kelas agak berbeda dengan masyarakat keluarga masyarakat kelas lebih banyak mendekati masyarkat orang dewasa pada umumnya. Karena didalam kenyataan, jumlah orang didalam masyarakat relatif lebih besar dibandingkan dengan didalam keluarga. Si samping itu, para individu yang membentuk masyarakat mengadakan penyesuaian dengan temperamen yang ada. Inilah yang dikenal sebagai inisiasi pertama terhadap keketatan kewajiban. Dalam hubungan ini, para murid memulai menjalani hiup sebagai layaknya masyarakat orang dewasa dengan sungguh-sungguh.
Menrut Elizabeth coben murid itu mempengaruhi guru, dan sebaliknya juga guru juga mempengaruhi belajarnya murid, para murid, juga saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Adanya struktur sosial informal yang berlangsung dalam masyarakat kelas, menimbulkan berlain-lainnya perlakuan guru terhadap murid.
Selama dekade yang silam, perkembangan sosiologi pendidikan ditandai dengan meningkatnya minat dan perhatian terhadap kelas sebagai suatu organisasi sosial. Dalam hubungan ini, philips Jackson dalam bukunya yang bejudul “Life in classroom” daqan Robert Dreeben pada karyanya yang berjudul “On What Is Learned In School” keduanya elah memberikan bahan telaahannya masing-masing selama dekade yang lalu itu. Dalam pada itu, juga amat banyak hasil penelitian empiris yang telah diperoleh. Yaitu dengan menggunkan aneka ragam teknik penelitian ; antra lain berhasil menggarap topik-topik penelitian mengenai hubungan kekuasaan dengan interaksi kelompok teman sebaya, gaya mengajar guru, kondisi fisik kelas, dan suasana masyakat kelas.
Minat untuk melakukan penelitian terhadap kelas, di dorong oleh kurang memuaskannya hasil survai secara luas mengenai efek sekolah secara keseluruhan terhadap prestasi murid. Setidak-tidaknya, hal tersebut menuntun salah seeorang ahli sosiologi untuk melontarkan pendapatnya bahwa “apa yang berlangsung dalam kelas mungkin merupakan unt yang tak kalah pentingnya dalam pengembangan kegniti f murid ketimbang sekolah itu sendiri” (Ritcer,1975-388) mengenai hal ini, sebetulnya telah ada beberapa penelitian sebelumnya. Misalnya penelaahan mengenai pengaruh pengelompokan kemampuan murid terhadap keberhasilan akademis dan sosial, telah diadakan komparasi biji(score) rata-rata kelas pada tiga kelopok subyek. Hasil komparasi tersebut menunjukan bahwa :lebih besar perbedaan rata-rata kelas pada kelas-kelas yang menggunakan pola pengelompookan kemampuan murid dibandingkan dengan kelas-kelas yang tak menggunakan pola pengelomokan kemampuan murid; juga lebih besar perbedaan rata-rata antar kelas di masing-masing sekolah daripada rentangan rata-rata antar sekolah (Goldberg et.al 1996:61) demikian pula halnya dengan pengaruh penghapusan perbedaan warna kulit pada level sekolah dan kelas.
Dengan demikian, Mc Parland dan Goldberg dalam penelaahannya mendukung dasar pendapat yang menyatakan betapa pentingnya pengaruh “kondisi” kelas. Hanya saja. Mc partland mentitikberatkan pada pengaruh teman sebaya murid “selaku pembentuk lingkungan terdekat bagi individu” sedangkan Goldberg mengemukakan dua karakteristik yang berbeda-beda dari kelas ke kelas, yakni: synlality atau kepribadian kelompok unit kelas dan guru.
Para kritikus radikal, seperti Holt, Kohl, Herndon, dan Denisson, bukanlah ahli sosiologi dan “pendirian” Pendidikan. Namun begitu, mereka memberikan dorongan untuk melakukan penelitian sosiologi terhadap kelas. Dengan mengemukakan permasalahan organisasi sekolah yang sering di abaikan oleh para ahli sosiologi, kritikus radikal tersebut secara tegar melontarkan kritiknya terhadap teori konvensional tentang kelas, dan begitu pula mengenai wawasan penting prosees belajar.
PERANAN GURU
Mengajar, lazimnya didefinisikan sebagai “serangkaian interaksi antara orang yang berperanan selaku guru dengan orang yang berperanan selaku murid, yang tujuannya untuk mengubah keadaankignitif dan efekif murid” (Bidwell). Hinggga dekade yang lalu, penelitian mengenai peranan guru menitikbeatkan pada latar belakang sosial guru, dengan penekanan hubungan dengan murid, dan pada umumnya tidak berhasil mengungkapkan hubungan antara karakteristik kepribadian guru dan gaya mrngajar guru dengan prestasi belajar murid.
Selama thun 1040-an dan permulaan tahun 1950-an, banyak dilakukan upaya membuat sekala untuk mengukur keefektifan peranan guru , hal ini di ulas oleh medley dan Mitzel (1963) dan Gordon dan Adler (1963). Kebanyakan skala tersebut, pada dasarnya dikembangkan dengan cara yang sama. Untuk mengefektifkan guru, seorang pengamat menggunakan seperangkat dimensi yang di anggap ada hubungannya dengan pengukuran keefektifan peran guru. Pengamat dimaksud, sebentar-sebentar memasuku kelas untuk menilai “baik” atau “buruk” bergantung pada klasifikasi yang di buat sesuai dengan segala maksud.
Walaupun konten skala itu sangat berbeda-beda, skala trsebut hampir seluruhnya mempertunjukan kurangnya hubungan dengan ukuran prestsi murid. Di samping ketergori ganjil yang digunakan dalam banyak skala, (misalnya, guru yang dinilai “baik” lebih banyak kemngkinannya tersenym dan memberikan isyarat, tetapi lebih kecil kemungkinannya membunyikan jarinya dan menggertakan kakinya ketimbang guru yang di nilai “buruk”), kategori dimaksud berpijak pada pandangan keliru yang menyatakan bahwa keterampilan seorang guru bisa diniai dengan jalan mengamatinya sewaktu ia mengjar, yaitu, sorang pengamat yang pintar bisa mengetahui mengajar yang baik pada waktu dia melihatnya (Medley dan Mitzel 1963).
Selama tahun 1940-an dan 1950-an diselenggarakan peneliian terkenal guna menelaah “gaya kepemimpinan” karena penerapannya pada pendidikan, dasar pandangannya menyatakan bahwa kualitas guru selaku pemimpin, termasuk bagaimana dia mengontrol situasi kelas, menentukan semangat dan penampilan murid. Selaku pelopor dalam penelitian ini, Lewin, Lippit, dan kawan-kawannya pada akhir taun 1930-an mengadakan serangkaian eksperimen. Dalam eksperimen tersebut dibuatlah beraneka ragam suasana kepemimpinan.
Pada salah satu eksperimennya, empat anggota staf penelitian Lewin dididik dengan tiga gaya kepemimpinan sebagai berikut.
Otoriter
Tujuan umum, kegiatan khusus, dan prosedur kerja kelompoknya semua didekte oleh pemimpinnya. Akan tetapi pemimpinnya tetap menjauhkan diri dari partisipasi aktif kecuali apabila menunjukan atau memberikan tugas.
Demokrasi
Semua policy, kegiatan dan prosedur kerjanya ditentukan oleh kelompok secara keseluruhan. Pemimpinnya ikut aktif dan berusaha menjadi anggota biasa dengan semangat tanpa melakukan terlalu banyak kerja..
Laizzes-faire
Dalam gaya kepemimpinan ini ada kebebasan sepenuhnya bagi kelompok maupun individu untuk menetpkan keputusan, dengan sedikit partisipasi dari pemimpinnya.
Masing-masing anggota staf diugaskan untuk membimbing beraneka ragam kegiatan perukangan pada sekelompok anak laki-laki berumur sepuluh tahun. Di samping menseleksi supaya pada mulanya seimbang dalam distribusi karakteristik pribadi dan sosial, faktor perbedaan kepribadian di kontrol dengan jalan menyuruh masing-masing kelompok supaya berjalan melalui otokrasi dan kemudian demokrasi atau sebaliknya. Dalam pelaksanaannya, guru guruberperan sebagai otokrat dan berperan sebagai pemimpin demokrattis paling sedikit sekali. Jadi, “setiap enam minggu masing-masing kelomok mengalami pergantian pemimpin baru dengan teknik kepemimpinan berbeda. Masing-masing kelompok dipimpin oleh tiga pemimpin selama pendidikan lima bulan pada eksperimen tersebut.
Hasil dari eksperimen ini biasanya dibahas dengan menekankan level kepuasan yang lebih tinggi dan “group minimal sedendet” serta level agresi yang lebih rendah dalam kelompok demokratis. Yang lebih sedikit dilaporkan adalah kesimpulan yang menyatakan bahwa dalam setting otokritas kualitas kerja menunjukan lebih besa, walaupun kegiatan dalam seting ini memerlukan kehadiran pemimpin. Bila tipe pemimpin otokritas meninggalkan ruangan, maka hasil kerjanya menunjukan keenderungan menuruen. Begitu pula, kesimpulan yang menarik dan belum banyak dilaporkan menyatakan bahwa produkifitas dalam setting yang dikelola dengan gaya kepemimpinan laissez-faire, dimana srukur formulanya sedikit dan para anggotanya bebas bertindak sesukanya, menunjukan kenaikan tanpa kehadiran pemimpinnya.
Jika kita dapat menarik kesimpulan dari penelaahan lain yang diadakan selama dua puluh lima tahun yang lalu, tampaknya kesimpulan tersebut terbatas pada hal-hal sebagaimana berikut
Ø Taksatupun tipe guru atau pelajaran dikatakan terbaik bagi semua murid, dan baarangkali tidak ada pula cara terbaik untuk mengajarkan semua pelajaran pada murid tertentu.
Ø Penelitian hendakanya menitik beratkan pada hubungan interpersonal dua arah dan interaksi antara guru dan murid. Hal ini berbeda dengan upaya menyimpulkan komponen pengajaran yang efektif dengan mempelajari guru itu sendiri.
Ø Kemajuan penampilan murid dan kualitas hubungan antara guru dan murid bisa diperoleh melalui upaya sisematis menyesuaikan secara lebih dekat tipe murid da pelajaran yang sesuai dengan nilai dan kebutuhan siswa serta gaya mengajar guru.
Ø Untuk memahami sepenuhnya tingkah laku guru yang efektif hendaknya kita mendasarkan pada teori komprehensif tenteng kelas sebagai sisem sosial.
Belakangan ini penelitian mengenai peranan guru berupaya menemukan komponen-komponen penting pengajaran dan cara terbentuknya tingkah laku guru di dalam sistem pendidikan yang telah dirancang.
Pertama, tindaklah seperti halnya hukum, kedokteran, dan kebanyakan profesi lain, mengajar tidak memiliki bentuk “mati” keahliannya yang bisa bisa dijelmakan menjadi panduan kerja. Jadi dalam mengajar banyak peluang improvisinya. Dalam hubungan ini, penelitian terhadap lima puluh guru yang oleh kepala sekolahnya dianggap sangat berhasil, mengungkapkan bahwa guru-guru ini sedikit menggunakan ukuran-ukuran obyektif prestasi yang merupakan bukti keefektifan pengajar, melainkan menggantngkan pada kecepatan para murid-muridnya mengerjakan tugas-tugas yang diberikan.
Kedua, dibandingkan dengan profesi lain yang lebih tinggi, mengajar berbeda pola penerimaan tenaga barunya, pendidikannya, dan mobilitas karirnya. Karena merupakan profesi yang mudah peneriimaannya, tapi terbatas mobilitasnya, mengajar menarik perhatian bagi sejumlah besar orang yang akhirnya memutuskan untuk memilih pekerjaan mengajar yang dianggap kurang maju (karena gagal rencananya untuk memilih profesi lain), juga menarik perhatian bagi sejumlah besar orang perempuan yang ingin bekerja sambilan atau sekedar untuk memenuhi tangung jawab rumah tangga. Imbalan mengajar bukanlah prestise atau uang melainkan kepuasan psikologis. Kenaikan gaji pada umumnya didasrkan pada masa kerja dan banyak course credit bukan “produktifitas” dan bila guru ingin maju karirnya, maka ia harus pindah ke pekerjaan admiinistrasi.
Ketiga, mengajar membentuk interaksi secara efektif dan terus menerus dengan murid dan keangsungan mengajar itu terisolir baik bagi guru maupun murid di kelas lainnya. Kelas merupakan tempat yang penuh sesak dan ramai (oleh Jackson dinyatakan bahwa guru-guru sekolah dasar menghadapi sebanyak serib pertukaran komunikasi antar pribadi setiapharinya). Dalam pada itu, mengajar dianggap sebagai pekerjaan yang sunyi/terpencil dibandingkan dengan pekerjaan yang harus dikerjakan dengan kelompok teman kerja dan sudah maju jaringan hubungan koleganya. Guru bekerja saling terpisah antara yang satu dengan yang lain, dan pada waktu mereka membiarakan soal kerja diruang guru, mereka amat sedikit mempelajari dengan mengamati secara langsung apa yang dikerakan oleh teman kerjanya dan seberapa jauh cara kerja koleganya. Jadi, “dalam beberapa hal, guru dikatakan sebagai tukang yang terpencil, yang dengan upayanya sendiri menciptakan prosedur dan cara kerja yang sudah disemprnakan oleh koleganya ditempat kerja tersebut”. Disamping menghindari semakin kuatnya ikatan kolega, keterpisahan ruang kelas bisa memisahkan guru dengan mekanisme kontrol sosial. Dalam suatu dapenelaahan tentang kelas disekolah dasar di Jerman dan Amerika(Warren, 1973) disimpulkan bahwa guru terhindar dari campur tangan orang tua murid dan warga lainnya serta dari oobservasi dan evaluasi rutin atasannya.
HUBUNGAN GURU DENGAN MURID
Para ahli sosiologi menandaskan bawa hubungan guru dengan murid dimaksud merupakan hubungan tak seimbang atau asimetris. Tiga hal yang membedakan peranan guru dan murid antara lain :
1. TINGKAT KESUKARELAAN
Sebagaimana yang dinyatkan oleh Dreeben (1973), guru bekerja di sekolah karena di gaji, sedangkan murid masuk sekolah karena kewajiban belajarnya
2.TINGKAT KEAKTIFAN VS KEPASIFAN
Peranan murid yang baik, lebih banyak menuntut kepatuhan dan kesabaran daripada inisiatif dan tanggng jawab diri sendiri. Menurut Moore, perspektif peraranan yang ada dalam kelas itu antara lain :
a. Agent
b. Patient
c. Recipprocator
d. Referee
Dia berpendapat bahwa guru memonopoli peranan aktif dan membiarkan anak-anak “bersabar terhadap tindakan guru sebagai agent.
3.KEKUASAAN ATAU WEWENANG
Guru adalah atasannya murid karena umurnya, pendidikannya, sumber kontrol di kelas (termasuk hadiah dan hukuman), dan salah satu hal terpenting yang harus dipelajari murid di sekolah ialah bagaimana ia memahami ooritas yang tidak bersifat pribadi.
Bertolak dari pandangan mengenai kelas, asimetri semacam itu memang tepat dan musi terjadi. Oleh durkheim dinyatakan secara tegas, bahwa peranan guru ditandai dengan otoritas moral tertentu yang ada kaitannya dengan pekerjaan mengajar. Hubungan antara guru dan murid memadukan antara dua populasi yang tidak sederajat kebudayaannya, guru diilhami dengan peradaban, sedangkan murid merupakan orang yang diberi peradaban. Belakangan ini, penelitian yang dilakukan oleh para ahli sejarah sosial menyatakan bahwa setidak-tidaknya selama abad kesembilan belas, sekolah-sekolah di Amerika mendasarkan pada tata aturan Durkheim, kendatipun otoritas moral guru tetep bertahan, namun ditandai dengan hukuman badani dan penghinaan, bukan dengan persetujuan secara diam-diam spontan dari puhak murid.
Pandangan durkheim mengenai hubungan guru dengan murid tidak selamanya di pegang teguh dimana-mana. Kini para ahli sosiologi rupanya punya sependapat bahwa “apabila banyak terjadi ketimpangan kekuasaan antara orang yang memegang kekuasaan otoritas dan orang yang tidak memegang kekuasaan otoritas, dan apabila terdapat sejumlah bawahan tetapi lebih senang berada di tempat lain, maka yang menjadi permasalahannya ialah kepatuhannya, terutama apabila orang yang memegang otoritas tidak bisa langsung memberikan dorongan-dorongan supaya bisa menghayati kepatuhannya dengan sepenuh hati.
Posisi guru memang lebih mudah kena kecaman. Sebagaimana yang di kemukakan oleh salah seorang peneliti : “tak peduli apapun yang tertulis yang tertulis dalam undang-undang negara atau peraturan-peraturan komisi pendidikan, pelaksanaan sebenernya otoritas guru merupakan usaha rumit yang tak menentu (Wegman) dalam meneliti kelas sekolah menengah ke atas, Wegman menelaah beberapa wilayah masalah disiplin, mulai dari kebebasan bertindak di kelas sampai kepada memberikan memberikan teguran tajam. Masalah disiplin ini harus mendapatkan persutujuan bersama dari pihak guru dan murid. Setelah dirundingkan secara luas. Dalam mengolah penelaahan pengelolaan kelas, yang di dasarkan pada data sekolah taman kanak-kanak, kelas sekolah menengah atas, dan perkemahan musim panas anak-anak, kounin (1970) mengenal strategi-strategi guru yang secara positif ada hubungannya dengan keterlibatan kerja murid dan secara negatif ada kaitannya dengan tingkah laku yang keliru, strategi-strategi yang dipakai guru itu antara lain :
1. Guru secara eksplisit mengadakan komunikasi dengan murid sehingga ia mengetahui apa yang terjadi dan bisa mencegah pelanggaran
2. Ikut banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang mengganggu tapi tidak terlalu asyik dengannya
3. Membina arus perubahan kegiatan
4. Mengelola resitasi dengan cara yang bisa membuat murid sibuk (misalnya, menciptakan ketidak pastian tata aturan yang mewajibkan murid).
Kounin juga menganalisa “pencegahan” (desist) atau srategi guru dalam mencegah perbuatan yang tidak pantas, dan pengaruh kedisiplinan terhadap kelompok. Dia berkesimpulan bahwa pengaruh pencegahan berbeda-beda tergantung pada tempatnya, misalnya, pencegahan yang dilakukan dengan marah akan lebih banyak pengaruhnya terhadap murid taman kanak-kanak daripada murid sekolah menengah atas. Dia juga menyimpulkan bahwa reaksi murid sekolah menengah atas terhadap pencegahan yang dilakukan oleh guru ada kaitannya dengan motivasi belajar murid dan sikapnya terhadap guru.
Secara ringkasnya, walaupun dalam banyak aspek peranan guru dan murid tak seimbang, konseptualisasi interaksi antara guru dan murid barasumsi bahwa murid dan guru saling mempengaruhi antara yang satu dengan yang lain . penelitian menunjukan bahwa murid dan guru memberikan reaksi terhadap struktur paranan kelas dengan aneka ragam cara., dan banyak guru lebih menggantungkan pada personal resource daripada otoritas formalnya supaya murid patuh. Bukti cerita menunjukan bahwa banyak guru, terutama di tingkat sekolah dasar, telah membuat cara-cara untuk memperlunak kebosanan dan kekerasan terhadap kegiatan murid sehari-hari. Pada hari sekolah, dalam kelas itu sendiri guru bisa berhubungan dengan murid secara perorangan dibandingkan dengan pendekatan formal dalam struktur peranan, dan juga bisa bertindak sebagai pendukung antara murid dan aspek-aspek yang lebih ketat dalam sistem pendidikan formal.
Diantara aspek-aspek interaksi antara guru dan murid yang tampaknya mempengaruhi sikap dan penampilan akademis murid, ada dua aspek yang menarik perhatian ahli sosiologi selama dua dasawarsa yang lalu. Salah satu aspek tersebut ialah pengharapan timbal balik antara pihak guru dan murid dan pengaruhnya pada prestasi selanjutnya. Penelitian mengenai pengaruhnya pada prestasi selanjutnya. Penelitian mengenai pengaruh pengharapan didasarkan pada konsep tentang self-fulfilling prophecy yang dengan sendirinya berpatokan pada dalil yang dikemukakan oleh ahli sosiologi Amerika, W.I Thomas : jika para individu menentukan situasi-situasi itu nyata, maka situasi-situasi tersebut nyata pula konsekuensinya. Aspek kedua mengenai interaksi antara guru dan murid ialah evaluasi. Evaluasi masyarakat secara kontinyu yang memberikan ciri kehidupan kelas telah banyak mendapat perhatian para pengamat dan belakangan ini guru ada kaitannya dengan motivasi belajar murid dan sikapnya terhadap guru. Penelitian sosiologi membuktikan kebenaran hubungan antara cara mengevaluasi murid dan variable latar belakang seperti status sosial ekonomi(SSE) dan kesukuan (ethnicity) bagian berikut akan membahas penelitian mengenai dua topik tersebut.
PENGARUH PRNGHARAPAN
Pada pertengahan tahun 1960-an Robert Rosenthal dan Lenore Jacobson mengadakan eksperimen yang tujuannya menguju pernyataan, bahwa dalam kelas tertentu “anak-anak yang oleh gurunya diharapkan bisa mencapai pekembangan kecerdasan yang lebih besar, akan menunjukan pertumbuhan yang lebih besar pula” setting yang diteliti adalah sekolah dasar di San Fransisco yang kebanyakan murid-muridnya dari SEE rendah, akan tetapi bukan dari keluarga yang sangat miskin. Kira-kira seperenamnya dari 650 murid di sekolah itu adalah anak Mexico. Murid-murid digolongkan kedalam tiga jalur kemampuan yang didasarkan pada kemampuan membaca. Kelas yang terendah jalaur kemampuannya terdiri dari anak-anak Mexico-Amerika dan dari golongan income rendah. Karakteristik lain mengenai dekolah itu ialah perimbangan transfer yang relaif tinggi, kira-kira 30 persen dari populasi sekolah ditransfer kedala atau luar selama satu tahun.
Mengingat penelitian dilakukan pada satu sekolah, Rosenthal dan Jacobson tidak mengemukakan kerepresentatifan sapelnya. Akan tetapi dengan sengaja mereka memilih sampel yang sulit, yaitu sekolah yang sebagian besar muridnya berasal dari kelompok yang biasanya lebih rendah prestasi sekolahnya daripada populasi pada umumnya kearena itu, mereka membuat kesimpulan dari sampel terbatas yang ampaknya lebih meyakinkan.
Pertama, semua anak di kelas satu sampaikelas enam diberi tes kecerdasan non-verbal. Tes ini dirahasiahkan sebagaimana sebagaimana tes yang tujuannya meramalkan perkembangan akademis atau perkembangan kecerdasan. Pada masing-masing kelas kira-kira 20 persen dari muridnya, yang di pilih dengan menggunakan tabel angka acak, dijadikan kelompok eksperimen. Nama-nama murid ini diberikan kepada masing-masing guru yang diberitahu bahwa sekor mereka pada “tes yang mengukur perkembangan kecerdasan” menunjukan hasil kecerdasan yang luar biasa selama satu tahun ajaran tersebut Tritmen eksperimen terhadap anak-anak ini tidak lain kecuali hanya diperkenalkan pada guru sebagai “anak yang mencapai hasil kecerdasan luar biasa”. Delapan bulan kemudian anak-anak diberi tes yang sama.
EVALUASI PENAPILAN KELAS
Di kebanykan kelas, murid senantiasa ingin tahu berapa nilai dari pekerjaan atau tugas yang telah dikerjakannya (Dreeben, 1968 : 38). Studi longitudinal mengenai kelas sekolah dan hasil tes menyatakan, bahwa proses evaluasi kelas memakan waktu lama untuk menemukan perbedaan yang semakin meningkat diantara murid-murid, dan semakin konsisten menunjukan posisi murid dalam hirarki prestasinya terhadap gejala tersebut ada dua penjelasan. Pertama, dijelaskan, bahwa murid berinteraksi dengan sistem evaluasi dengan menerima umpan balik mengenai penampilan kerjanya pada suatu tugas. Hal tersebut mempengaruhi kadar semangat dan kepercayaannya terhadap tugas yang akan dikerjakan selanjutnya, dan sebaliknya semangat dan kepercayaannya itu akan mempengaruhi penampilan kerja pada tugas-tugas selanjutnya. Pada suatu tahun ajaran tertentu , bisa dievaluasi sebanyak 150 buah tugas-tugas yang dikerjakan siswa (kebanykan tugas-tugas ini berangkaian), dan self-image yang ia peroleh tampak semakin jelas sehingga bisa menentukan upaya dan penampilan selanjutnya.
Kedua, mengenai konsistensi penampilan masing-masing murid yang semakin meningkat, dijelaskan bahwa setelah diadakan evaluasi terhadap penmpilan kerja murid pada beberapa tugas, guru itu berpendapat, bahwa kompetensi murid dan penampilan selanjutnya akan dievaluasi menurut gambaran umum sebelumnya tadi, penelaahan empiris tadi. Penelaahan empiris yang menguji model ini (Finn, 1972) menyatakan, bahwa guru yang mengoreksi tes subyektif dari murid-murid cerdas/berprestasi tinggi, cenderung menilainya lebih tinggi jika di bandingkan dengan jawaban serupa yang berasal dari murid yang rendah kemampuannya dan prestasinya. Penelitian yang diadakan oleh Brophy dan Good sebagaimana dibahas sebelumnya, mengemukakan bahwa guru tidak hanya menuntut penampilan yang lebih tinggi dari anak-anak yang diberi harapan lebih tinggi, melainkan juga cenderung memberikan pujian terhadap penampilan-penampilan mereka itu. Sebaliknya, guru tadi lazimnya menerima penampilan jelek dari dari anak-anak yang kurang menjadi tumpuan harapan, dan kecil kemungkinannya memuji penampilan mereka yang baik bila ada, dan tek begitu sungguh-sungguh mengembangkan supaya mereka bisa menjawab/merespons secara benar.
Belakangan ini, diadakan beberapa penelaahan yang berupaya menuntukan seberapa erat hubungan angka/nilai dengan kompetensi sebenarnya murid, seberapa telitinya guru mengkomunikasikan evaluasi dengan murid. Sebagian data penelitian menyatakan, bahwa nilai seringkali lebih dekat hubungannya penyesuaian murid terhadap standar tingkah laku di kelas jika di bandingkan dengan kompetensi akademisnya. Hasil penyelidikan yang diadakan oleh Dornbush, memberikan bukti, bahwa sistem evaluasi tidak berjalan sewajarnya dan murid dari ras minoritas dan dari kelas sosial lebih rendah, paling banyak kemungkinannya memperoleh gambaran yang menyimpang tentang kemampuan dan penampilannya.
Sistem evaluasi dimaksud menggambarkan lebih dari satu aspek asimetri peranan guru dan murid. Tentu saja telah diadakan penelaahan mengenai penilaian murid terhadap gurunya, akan tetapi pada umumnya hal itu merupakan pelaksanaan penelitian, dan jarang mempengaruhi posisi guru di sekolah. Seringkali guru tidak begitu dievaluasi oleh teman kerjanya, dan kontak antara guru dan kepala sekolahnya “jarang terjadi, serta kurang sering dilakukan obseervasi secara terus menerus dan langsung terhadap guru tersebut, dan kalupun ada, biasanya tidak memuaskan”. Dornbush dalam penelaahannya menyimpulkan, bahwa guru tidak banyak diberi tahu tentang sistem sisem evaluasi jika dibandingkan dengan murid, 51 persennya dari lima ratus lebih guru dalam sampel itu menjawab “tidak pada pernyataan” Do you have any idea of any criteria on which you are evaluated ? (punyakah anda pendapat mengenai kriteria yang dipakai dalam evaluasi terhadap anda? ). Akan tetapi Dornbush secara tegas menyimpulkan. Bahwa guru guru yang menampilkan kelasnya lebih banyak di ketahui oleh teman kerja dan kepala sekolahnya.
HUBUNGAN MURID DENGAN MURID
Sbagaimana dinyatakan oleh seorang pengamat, kelompok teman sebaya murid dianggap sebagai “akarnya kelas” (Cohen, 1972). Pada umumnya kelompok tersebut dipandangn dengan rasa curiga dan khawatir oleh guru yang berusah menguasi kelas. Para ahli sosiologi berpendapat, bahwa kelas memiliki sejumlah sistem stasus teman seebaya. Sistem tersebut mengemukakan, bahwa sebagian murid mempengaruhi sikap dan tingkah laku murid lain di sekolah (menurut terminologi sosiologi, murid bertindak sebagai referrence group bagi murid lainnya ), akan tetapi sejauh ini mereka belum mengetahui secara spesifik proses pengaruh ini. Aspek hubungan murid dengan murid yang paling mendapat perhatian ialah perasaan murid terhadap satu sama lain, sebagaimana yang diukur dengan teknik yang disebut analisis sosiometri (sociometric analysis).
Sebagai bidang yang sebagian besar merupakan hasil ciptan Moreno dan pengikutnya, sosiometri berupaya mengukur “jauh hubungan” (tele relation)—baik daya tarik positif maupun negaif—diantara anggoa kelompok. Teknik dasar pengumpulan data itu ialah menyuruh semua anggota kelompok untuk menceritakan apa yang paling kuat dirasakan oleh anggota kelomok lainnya (senang, tidak senang, menghormati, ingin kerjasama, dan seerusnya), atau menyuruh anggota tersebut untuk menyebutkan anggota kelompok yang tinggi dan rendah statusnya dalam kelompok itu (paling populer, paling cerdas, atau pemimpin terbaik). Analisis sosiometri tidak banyak digemari dalam pendidikan guru.
KESIMPULAN
Philip jackson dalam bukunya “life in classroom”, yang memadukan hasil observasinya dalam kelas sekolah dasar dengan sintesa penelaahan lainnya mengenai kelas, menarik kesimpulan bahwa, pembeda kehidupan kelas terletak pada cirinya yang ramai-sesak (crowd), sistem pujian (praise) dan struktur kekuasaan (power)nya, dimana murid perlu sekali bersikap penuh kesabaran/ketabahan. Struktur peranan dikelas-kelas tradisional/konvensional, menyebabkan tidak adanya keterlibatan aktif kebanyakan murid, malah menimbulkan jarak dan rasa tak percaya antara murid dengan guru.
Penelaahan terdahulu mengenai guru dan kteknik pengajaran, cenderung memisahkan karakteristik perorangan dan tingkah laku guru dengan unsur-unsur lain situasi kelas, diman hampir keseluruhannya menyimpulkan, bahwa tidak ada cara terbaik untuk mengajar semua murid dan mengajarkan semua mata pelajaran. Penelitian yang dilakukan belakangan ini menunjukan bahwa, walaupun peranan guru dan murid tidak seimbang, ternyata murid memiliki banyak strategi dalam menentang segala upaya guru yang mempertahankan otoritasnya, dan tata tertib kelas. Penelitian lainnya mengemukakan, bahwa harapan guru akan prestasi murid-muirdnya mempengaruhi prestasi nyatamurid-muridnya itu, apriasi dan prestasi, baik guru maupun murid bisa ditingkatkan dengan memanipulasi harapan dalam eksperimen. Evaluasi terhadap penampilan/prestasi murid, ternyata tak musti mencerminkan kompetensi murid yang sebenarnya. Dalam hubungan ini, anak-anak dari kelompok ras minoritas dan status sosial lebih rendah, lazimnya dirugikan dengan menerima gambaran yang menyimpang dari kemampuan serta penampilan yang sebenarnya.
Penelaahan mengenai pengetahuan kelas yang maksudnya supaya murid lebih aktif dan bertanggung jawab dalam proses belajar mengajar, umumnya menunjukan hasil-hasil positif. Sedikit jumlah penelitian empiris yang mengarah kepada alternatif definisi peranan murid, barangkali ini suatu cerminan dari persepsi masyarakat kita kita dalam memandang “siapakah” anak-anak dan pemuda, barangkali karena refleksi hakekat kelas itu sediri juga.