SIGNIFIKASI TASAWUF DI ERA MODERN DAN MASUKNYA TASAWWUF KE INDONESIA
Peradaban modern yang bermula di bicarakan sejak abad 17 merupakan awal kemenangan supermasi rasionalisme dan empirisme dari dogmatisme agama. Kenyataan ini dapat di fahami karena abad modern barat cenderung memisahkan ilmu pengetahuan dan filsafat dari agama yang kemudian di kenal dengan jargon sekularisme . perpaduan antara rasionalisme dan empirisme dalam satu paket epistemologi melahirkan, yang oleh T.H Huxley disebut, scienific mehod (metode ilmah).
Penemuan metode ilmiah yang berwatak empiris dan rasional secara menakjubkan membawa sains yang luar biasa canggihnya sehingga melahirkan kemudahan, disamping melahirkan kehidupan dan pradigma pemikiran baru. Fenomena serba mudah dan baru ini merupakan wujud akselerasi dari pemikiran filsafat Barat Modern.
Filsafat Barat Modern memandang manusia bebas dari segala kekuatan di luarnya, dan kebebasan itu terjadi lewat pengetahuan rasional. Manusia seolah digiring untuk memikirkan dunia an-sich sehingga tuhan,surga, neraka, dan persoalan-persoalan eksatologis tidak lagi menjadi pusat pemikiran.merka menjadi bebas dari segala macam magis, religi, kepercayaan, dan semua yang mereka anggap irrasional. Manusia di angkat martabatnya menjadi makhluk bebas dan otonom sebagaimana tergambar dalam pemikiran Descartes, Immanuel Kant, Sartre, dan frederich Nietzsche.
Atas dasar itu, abad modern menyiratkan zaman ketika manusia menemukan dirinya sebagai kekuatan yang dapat menyelesaikan bebagai persoalan hidupnya. Mereka cenderung melepaskan diri dari keterikatan dengan tuhan (theomorphisme), untuk selanjutnya membangun tatanan yang berpusat pada manusia (antropomorphisme) manusia di pandang sebagai makhluk bebas dan independen dari tuhan dan alam karena manusia menjadi tuan atas nasibnya sendiri. Dari sini terjadi apa yang disebut kultus persona. Sebagai kelanjutan dari kulus persona ini adalah berkembangnya gagasan tentang kebebasan dan utopia, yang berdiri sendiri tanpa dasar kosmis atau tanpa hububgan dengan the higher Consciouness. Akibat kultus persona ini adlah makin makin mendominasinya teknik dalam kehidupan, dalam ideologi kapitalisme, yang berefek membebaskan dan menciptakan-meminjam istilah Anthony Zieberfeld- abstrack society, atau dalam bahasa rollo May di sebut sebagai manusia dalam kerangkeng, satu istilah yang menggambarkan salah satu derita manusia yang sedang dihiipnotis atmosfer modernitas, pola hidup manusia menjadi serba dilayani oleh perangkat tekhnologi yang serba otomatis dan canggih, yang pada gilirannya akan membuat manusia lengah dan tidak menyadari bahwa dimensi spiritualnya terdistorsi. Kita sedang menyaksikan tecabutnya akar spiritualitas dari panggung kehidupan global.
Dietngah kancah kehidupan global ersebut terdapat fenomena pada kelompok sosial tertentu yang terperangkap keterasingan. Yang dalam bahasa sosiologi disebut alienasi. Manusia Modern seperti itu sebenarnya manusia yang sudah kehilangan makna, manusia kosong, the hollow man. Para sosiolog memandang bahwa gejala alienasi ini disebabkan oleh (a) perubahan sosial yang berlangsung sangat cepat, (b) hubungan hangat antar manusia telah berubah menjadi hubungan yang gersang, (c) lembaga tradisional telah berbuah menjadi lembaga rasional (d) masyarakat yang homogen telah berubah menjadi heterogen, dan (e) stabilitas sosial telah berubah menjadi mobilitas sosial.
Berbeda dengan para sosiolog, Hussein Nasr menilai bahwa alienasi ini di sebabkan karena peradaban Modern yang bermula dari Barat dibangun dari penolakan (negation) terhadap hakikat ruhaniyah secara gradual dalam kehidupan manusia. Akibatnya, manusia lupa terhadap eksistensi dirinya sebagai abid (hamba) dihadapan tuhan karena telah terputus dari akar-akar spiritualitas. Hal ini merupakan fenomena betapa manusia modern memiliki spiritualitas yang sangat aku. Pada gilirannya, mereka cenderung tidak menjawab berbagai persoalan hidupnya, dan kemudian terperangkap dalam kehampaan dan ketidakbermaknaan hidup.
Kondisi seperti itu menimbulkan berbagai kritik dan usaha pencarian paradigma baru yang diharapkan membawa kesadaran untuk hidup bermakna. Organized Religion- yang dilihat sebelah mata hanya pada aspek formalnya- tidak selamanya dianggap dapat menjadi theraphi kehampaan dan kegersangan hidup. Kemudian bermunculan keinginan untuk kembali pada orisinilitas (fundamental), kharisma yang menentukan (cultus), dan fenomena-fenomena luar biasa (magic). Secara praktis timbul gejala pencarian makna hidup dan pemenuhan diri yang sarat dengan spiritualitas, yang diharapkan mampu mengobati derita alienasi.
Masalah alienasi adalah masalah kejiwaan. Manusia berperan sebagai penyebab munculnya alienasi dan sekaligus sebagai korban yang harus menaggung akibatnya. Dalam konteks ajaran Islam, untuk mengatasi keterasingan jiwa manusia dan membebaskan dari derita alienasi, justru dengan menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhir (ultimate goal) karena Tuhan Mahaujud (omnipresent) dan mahaabsolut. Keyakinan dan perasaan inilah yang memberikan kekuatan, kendali, dan kedamaian jiwa seseorang sehinggan yang bersangkutan merasa senantiasa berada dalam “orbit” Tuhan, yang selalu menjadi pegangan hakiki.
Bagaimanapun, nilai kemanusiaan hanya dapat difahami ketika semua prilaku lahir dan batin diorientasikan pada tuhan, dan pada waktu yang bersamaan membawa dampak konkret terhadap penigkatan nilai-nilai kemanusiaan. Pendeknya, manusia tidak dapat difahami tanpa ketergantungan dengan Tuhan dan keterkaitan dengan manusia lain, baik secara individual mauoun komunal. Pemahaman seperti ini sesungguhnya berada dalam wacana spiritualitas, dan dalam khazanah intelektual Islam di sebut Tasawuf.
Spiritualitas (tasawuf) merupakan fenomena yang menarik perhatian, dan bahkan banyak meramalkan akan menjadi tren di abad ke-21 ini adalah gerakan New Age (New Age Movement).
Kebangkitan spiritualitas itu terjadi dimana-mana, baik di Barat maupun di Dunia Islam. Di Dunia Barat, kecenderungan untuk kembli pada spiritualitas ditandai dengan semakin merebaknya gerakan fundamentalis agama dan kerohanian, terlepas dari gerakan ini menimbulkan persoalan psikologis maupun sosiologis. Sementara di kalangan umat Islam di tandai dengan berbagai artikulasi keagamaan seperti fundamentalis Islam, yang ektrem dan menakutkan, selain bentuk artikulasi esoterik seperti yang akhir-akhir ini menggejala, yaitu geraka sufisme dan tarekat.
Fenomena di atas menggelitik penulis, mengapa di tengah-tengah habitat kemajuan ilmu dan teknologi , orang cenderung lari ke pencarian spiritualitas (taswuf dan tarekat)? Apa pentingnya tasawuf dalam dimensi kehidupan dunia modern.
Kesimpulan singkat yang dapat dicatat sebagai jawabannya, antara lain : perama, tasawuf merupakan basisi yang bersifat fitri pada setiap manusia. Ia merupakan potensi Ilahiyah yang berfungsi, diantaranya untuk mendesain corak sejarah dan peradaban dunia. Tasawuf dapat mewarnai segala aktivitas, baik yang berdimensi sosial, politik, ekonomi, maupun kebudayaan. Kedua, tasawuf berfungsi sebagai alat pengendali dan pengontrol manusia agar dimensi kemanusiaan tidak ternodai oleh modernisasi yang mengarah pada dekadensi moral dan anomali nilai-nilai sehingga tasawuf akan mengantarkan manusia pada tercapainya suprema morality (keunggulan moral). Ketiga, tasawuf mempunyai relevansi dan signifikasi dengan problema manusia modern karena secara seimbang memberikan kesejukan batin dan disiplin syariah sekaligus. Ia dapat difahami sebagai pembentuk tingkah laku melalui pendekatan tasawuf suluki, dan dapat memuaskan dahaga inelektual melalui pendekatan taswuf falsafi. Ia dapat diamalkan oleh setiap muslim, dari lapisan sosial manapun dan ditempat manapun. Secara fisik mereka menghadap satu arah, yaitu ka’bah, dan secara rohaniah mereka berlomba-lomba menempuh jalan (torekat) melewati maqamat dan ahwal menuju pada kedekatan (qurb) dengan tuhan yang satu, yaitu Allah SWT.
Melihat pentingnya tasawuf diatas, tak heran kalau manusia selalu memburu untuk memilikinya. Tanpa dibimbing oleh spiritualitas, manusia dalam hidupnya akan mengalami derita batin dan ketidak bermaknaan hidup. Hidup manusia akan terasa hampa, kosong tidak tahu tujuan hidup ini, bahkan yang lebih parah lagi jika memandang realitas hidup berdiri sendiri tanpa kuasa tuhan yang mutlak , seperti telah disinggung di atas, Nietzsche, misalnya, pernah memproklamirkan The Death of God dan agama pun dipandang tidak layak hidup. Akan tetapi, sesunguhnya pekik proklamasi itu lebih tepat difahami sebagai pengumuman kematian spiritualitas Nitzsche sendiri. Karena dalam kenyataannya, masyarakat yang kini cenderung hidup di era post modernisme, cenderung lari pada pencarian spiritual untuk menjawab permasalahan hidupnya
Keterkaitan Manusia Modern pada dunia spiritual, pada intinya ingin mencari keseimbangan baru dalam hidup. Kaum eksistensialisme, misalnya, memandang manusia pada dasarnya ingin kembali pada kemerdekaan yang telah tereduksi dalam kehidupan Modern. Kehidupan dalam perspektif tersebut dapat dicapai apabila manusia senantiasa melakukan transendensi terus-menerus. Dalam proses transendensi, kehidupan ini tidak hanya berhenti pada realitas profan dalam konteks keterbatasan ruang dan waktu, tetapi di transendensikan pada realitas yang mutlak (ultimae reality). Keseimbangan hidup yang sempurna dan kemerdekaan yang hakiki terletak dalam prosres ransendensi yang dapat ditempuh dengan spiritualisasi diri.
Mengisi hidup dan kehidupan dengan visi dan artikulasi sufistik akan menjadi penawar krisis spiritualitas dewasa ini. Islam, misalnya, yang sarat dengan muatan spiritual, dipandang sebagai alternatif pegangan hidup manusia di masa mendatang. Namun, dibalik optimisme masa depan agama, muncul pertanyaan tentang model keberagamaan yang mampu menyangga kebutuhan spiritualitas manusia. Persoaalan, seperti dikatakan oleh Eric Fromm dalam bukunya Religion and psychoanalysis, menyatakan bukan beragama apa, tetapi beragama yang bagaimana. Artikulasi agama yang tidak tidak ditopang oleh pemahaman dan penghayatan yang benar, dalam pengertian kemampuan meletakan agama sesuai dengan inti spiritualnya, hanya akan mengakibatkan kepuasan psikologis dan sosiologis yang absurd, serta melahirkan sikap yang radikal dalam beragama.
Menanggapi absurditas kepuasan psikologis dan sosiologis itu, Huston smith (1985) mengatakan bahwa spiritualitas masa depan tetap bersumber dari agama-agama yang otentik karena ia merupakan pintu gerbang paling jelas. Melalui pintu gerbang itulah, kekuatan kosmos tercurah kedalam eksisensi manusia. Hussein nasr menilai, agama otentik adalah agama samawi. Menurutnya, semua agama samawi adalah -seperti Islam- pada tingkat paling esoterik bertujuan untuk mendekatkan dan mempertemukan kehendakdan kasih tuhan di satu pihak dengan kehendak dan perjalanan manusia dalam sejarah di pihak lain. Berdasarkan hal ini, maka upaya menengok dan mengkaji tasawuf menjadi sangat penting, baik dari aspek sejarah maupun substansi pemikirannya. Sebagaimana disebut tadi bahwa spiritualitas mulai bangkit dimana-mana, termasuk di Indonesia. Di bawah ini beberapa sejarah dan pemikiran tasawuf di indonesia.
B.PEMIKIRAN TASAWUF DAN PERJALANAN SEJARAHNYA
Tasawuf , sebagai aspek mistisisme dalam islam, pada intinya adalah kesadaran adanya hubungan komunikasi manusia dengan tuhannya, yang selanjutnya mengambil bentuk rasa dekat (qurb) dengan tuhan. Hubungan kedekatan tersebut difahami sebagai pengalaman spiriual dzauqiyah manusia dengan tuhan, yang kemudian memunculkan kesadaran bahwa segala sesuatu adalah kepunyaannya. Segala eksistensi yang relatif dan nisbi tidak ada artinya dihadapan eksistensi yang absolut.
Hubungan kedekatan dan hubungan penghambaan nsufi pada khaliqnya akan melahirkan perspektif dan pemahaman yang berbeda-beda antara sufi yang satu dengan yang lainnya. Keakraban dan kedekatan ini mengalami eleborasi sehingga akan melahirkan dua kelompok besar. Kelompok pertama mendasarkan pengalaman kesufiannya dengan pemahaman yang sederhana dan dapat difahami oleh manusia pada tataran awam, dan pada sisi lain akan melahirkan pemahaman yang kompleks dan mendalam, dengan bahasa-bahasa simbolik-filosofis. Pada pemahaman yang perama kemudian melahirkan tasawuf sunni. Yang tokoh-tokohnya antara lain Al-Junaidi, Al-Qusyairi, dan Al-Ghazali.sedangkan pemahaman yang kedua menjadi tasawuf falsafi, yang tokohnya antara lain Abu Yazid Al-Bustami, Al-Hallaj, Ibnu Arabi, dan Al-Jilli.
Di kalangan penganut tasawuf falsafi itu lahirlah teori-teori, seperti fana, baqa’, dan ittihad (yang dipelopori oleh Al-Bustami),hulul (yang dipelopori oleh Al-Hallaj), wahdat-al-wujud (yang dipelopori oleh Ibnu Arabi), dan insan kamil (yang dipelopori oleh (Al-Jilli). yang tidak diakui oleh kalangan tasawuf sunn. Kendati demikian, sufi sunni juga mengakui kedekatan manusia dengan tuhannya, hanya saja masih dalam batas-batas syariat yang tetap membedakan manusia dengan tuhan. Teori-teori tersebutdapat lahir karena kaum sufi falsafi mengakui “kebersatuan” itu, dengan alasan bahwa manusia adalah manusia, sedangkan tuhan adalah tuhan, yang tidak mungkin dapat bersatu antara keduanya.
Konsekuensi terhadap adanya faham “kebersatuan” itu, yang diajarkan kaum sufi falsafi itu membuat mereka melacak asal usul dirinya dan segala wujud yang ada. Menurut mereka, manusia sebagai makhluk sempurna merupakan pancaran atau turunan dari wujud sejati, yang menurunkan wujud-wujudnya dari alam rohani ke alam materi dalam bentuk manifestasi wujud secara beruruan (gradasi wujud, hierarki wujud). Proses penurunan wujud ini dalam perbendaharaan sufi dinamakan tanazzul, baik tajalli dzati (gaib) maupun tajalli syuhudi, seperti yang di konsepsikan oleh Ibnu Arabi. Konsep tanazul dan tajalli ini juga dapat di temukan dalam pemikiran Al-Jilli menurutnya, proses tanazzul berupa tajalli tuhan yang berlangsung secara terus menerus pada alam semesta terdiri atas lima martabat secara berturut-turut, yaitu uluhiyah, wahidiah, rahmaniah, rububiah,. Kelihatannya, konsep seperti ini mirip dengan teori emanasi dari al-Farabi.
Pada akhirnya, kedua konsep pemikiran tentang tanazzul tadi, baik Ibnu Arabi maupun Al-Jilli, memiliki pandangan yang sama, yaitu manusia sebagai manifestasi Tuhan merupakan akhir dari manifestasi-NYA dan sekaligus menjadi titik toal untuk mengenal dan kembali kepada-NYA. Dengan mengenali diri manusia makam tuhan akan di kenala karena segenap citra-NYA telah terangkum dalam diri manusia itu sendiri sebagai manusia sempurna ( insan kamil). Inilah yang dimaksud ungkapan yang banyak digunakan kaum sufi, “barang siapa yang mengenali dirinya maka dia akan mengenali tuhannya.
Selain penggambaran tanazzul yang telah disebutkan diatas, terdapat penggambaran lain yang kha, yang digambarkan lewat dunia wujud atau alam-alam (awalim) wujud. Penggambaran terseebut dilihat dari sudut pandang perwujudan dan perolehan ma’rifat yang diistilahkan dengan al-hadharat (kehadiran-kehadiran), meliputi martabat asasi bagi wujud alam semesta, yang tersusun dari tajalli-tajalli.
Penggambaran yang dianggap paling sisematis dari al-hadharat, seperti yang disampaikan oleh Abu-Thalib Al-Makki adalah hahut (esensi, atau realitas absolut), lahut (realitas being, yakni Tuhan atau pribadi Tuhan), Jabarut (alam malaikat), malakut (alam gaib) dan nasut (alam manusia).
Teori-teori tentang tanazzul dan tajalli yang dikemukakan para tkoh sufi falsafi diatas ternyata pada perkembangan sejarahnya tersebar luas hampir keseluruh dunia islam seiring dengan tersebar dan berkembangnya agama islam ke seluruh penjuru dhnia, termasuk ke Indonesia. Adapun di Indonesia teori tanazzul yang berdasar pada konsep-konsep pemikiran Ibnu Arabi dan AL-Jilli itu kemudian mengkristal menjadi konsep marabat tujuh. Konsep ini merupakan tingkatan-tingkatan perwujudan melalui tijih tingkat martabat, yaitu ahadiah, wahdah, wahidiah, alam arwah, alam mitsal, alam ajsam, dan alam insan.
Martabat-martabat ahadiah, wahdah, dan wahidiah dinamakan juga dengan maratib al-ilahi (jabatan-jabatan tuhan). Pada maratib ilahi itu, martabat wahdah ssebagai perantarayang menghubungkan antara martabat ahadiah dan martabat wahidiah, yang tidak di kenal dalam teori-teiri tanazzul sebelumnya.
Martabat-martaba alam arwah, alam mitsal, dan alam ajsam disebut juga dengan maratib al-kawni (jabatan-jabatan duniawi). Sedangkan ada martabat insan terkumpul semua martabat yang ada sebelumnya (al-jami) dan di pandang sebagai martabat yang sempurna.oleh karena itu, dalam martabatini terdapat insan kamil sebagai wadah tajalli tuhan yang sempurna.
Konsep martabat tujuh yang masih sangat terkait dengan pemikiran Ibnu Arabi dan Al-Jilli itu diterima dan dikembangkan oleh para tokoh sufi dari berbagai daerah di Insonesia, misalnya Syamsuddin As-sumatrani (dari pasai Aceh ), Abd Ra’uf As-sinkli (singkel Aceh ), Abd Shamad Al-palimbangi (palembang Sumatera Selatan), Abd Muhyi pamijahan (Jawa Barat) dan Muhammad Aidrus (Buton Sulawesi). Mereka mengembangkan pemikiran sufistik Indonesia dengan wacana dan pendekatan tarekar-tarekat yang menyertainya.
Pemikran-pemikiran tasawuf falsafi di atas tidak lantas begitu saja di terima oleh tokoh-tokoh tasawuf sunni. golongan yang di sebut kedua tersebut ini bahkan menolak pemikiran-pemikiran tasawuf yang filosofis itu karena, menurut mereka, hal itu membawa kecenderungan pantheisme, ternyata ada tokoh yang mengklaim para penganut martabat tujuh dan wujudiah sebagai kufur atau zindik. Polemik diantara kedua kubu penganut tasawuf ini begitu mewarnai sejarah perkembangan pemikiran tasawuf di Indonesia, sejalan dengan proses masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia .
Berdasarkan hal diatas, perkembangan Islam di Indonesia sangat terkait dengan sejarah dan pemikiran tasawuf. Atau kata lain, penyebaran Islam di Nusantara tidak dapat di pisahkan dari tasawuf. Bahkan Islam pertama yang dikenal di Nusantara ini sesungguhnya adalah Islam yang disebarkan dengan pendekatan sufistik. Para penyebar islam di Indonesia itu umumnya para da’i yang memiliki pengetahuan dan pengalaman tasawuf. Diantara mereka juga banyak yang menjadi pengamal dan penyebar tarekat di Indonesia.
Mungkin kita tahu islam pertama masuk ke Indonesia yaitu ke Aceh oleh karena itu dalam pembicaraan tentang sejarah dan pemikiran tasawuf di indonesia, aceh memainkan peranan penting karena aceh merupakan wilayah yang tidak dapat dipishkan dalam setting sejarah islam di Indonesia khususnya, dan dengan Mslaysia, Thailand, Brunei, dan negara-negara di semenanjung Melayu umumnya. Atas dasar ini, maka julukan “serambi makkah” yang di sandangnya tidaklah berlebihan. Dengan demikian, dalam pembicaraan tentang sejarah dan pemikiitu ran tasawuf di indonesia, maka Aceh menempati posisi perdana dan strategis karena kelak akan mewarnai perkembangan tasawuf di Indonesia secara keseluruhan.
Adapun sejarah pemikiran tasawuf di aceh terkait erat dengan sejarah masuk islam itu sendiri. Masuknya islam di daerah ini mempunyai kontribusi yang sangat bagi penyebaran Islam di Nusantara. Hampir semua sejarawan sepakat bahwa islam pertama kali masuk ke Nusantara bermula di Aceh.
Sebelum membicarakan pemikiran-pemikiran taswuf di nusantara, terlebih dahulu perlu disorot tentang cara masuk agama islam di Indonesia. Sejauh ini ada beberapa teori yang digunakan oleh para ahli untuk melihat pendekatan yang digunakan oleh para penyebar agama Islam di Nusantara.
Berkenaan pendekatan yang digunakan oleh para penyebar Islam di Nusantara, tampaknya ada beberapa teori yang berkembang, antara lain: pertama, teori yang menyebutkan bahwa sejarah masuknya islam dinusantara adalah dengan pendekatan ekonomi bisnis (perdaganagan). teori ini cukup beralasan karena sajak lama bangsa Indonesia telah menjalain perdagangan dengan bangsa-bangsa arab,Gujarat, dan Cina.
Kedua, teori yang menyebutkan dengan pendekatan perkawinan, yakni para pendatang dan pedagang muslim dari timur tengah menjalin hubungan kekeluargaan dengan penduduk setempat. Dari perkainan ini melahirkan generasi muslim baru di Nusantara.
Ketiga, teori yang menyebutkan dengan pendekatan politik (kekuasaan). Pendekatan politik yang dimaksud adalah upaya dakwah yang dilakukan paran pedagang dan pendatang muslim yang kemudian berhasil mengislamkan para raja dan pembesar istana, yang sebelumnya meganut agama Hindu dan Budha . teori ini tampaknya terus berlaku setelah terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam di Nusanara, yang kemudian berhasil mengislamkan kerajaan-kerajaan jiran.
Keempat, teori yang menyebutkan dengan pendekatan sufistik. Teori ini cukup beralasan karena para penyiar Islam sesungguhnya adalah para ulama yang memiliki prngahuan dan pengalaman sufistik. Mereka tampil sebagai ulama yang memperaktekan moral-moral ketasawufan, bahkan kerap kali membawa dan memperaktekan tarekat tertentu. Para ulama tampil sebagai figur-figur sufi kharismatik, berwibawa dan arif, dan bersikap akomodatif terhadap budaya setempat. Penampilan dan prilaku mereka sering dijadikan anutan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, tanpa bermaksud menampilkan tiga pendekatan lain, maka pendekatan sufistik sangat layak untuk dipertimbangkan.
Teori keempat tampaknya lebih diakui dan banyak dipegang, misalnya oleh A.H Johns. Dalam teorinya, A.H Johns mengakui bahwa kemungkinan kecil sekali jika islam datang ke Indonesia melalui pendekatan dagang. Ia mengajukan teori bahwa para sufi pengembaralah yang terlihat lebih berhasil melakukan penyiaran Islam di Indonesia. Para sufi ini berhasil mengislamkan sejumlah besar penduduk Nusantara setidaknya sejak abad ke-13. Faktor utama keberhasilan konfersi adalah kemapuan para sufi untuk menajikan islam dalam kemasan yang aktraktif, khususnya dengan menekanakan perubahan dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal. Dengan menggunakan taswuf sebagai sebuah kategori dalam lieratur dan sejarah melayu-Indonesia, Johns memeriksa sejumlah sejarah lokal untuk memperkuat teorinya yang mengatakan bahwa betapa signifikasi peran yang dimainkan para sufi dalam proses Islamisasi.
Tokooh lain yang melihat pentingnya pentingnya pendekatan tasauf dalam penyerbaran penyebaran Islam di Nusantara ini ada Uka jandrasasmita. Ia berpendapat bahwa sejak abad ke-13 penyebaran islam melalui tasawuf di Indonesia ermasuk kategoriyang berfungsi dan membentuk kehidupan sosial bangsa Indonesia karena sifat spesifik tasawuf yang memudahkan penerimaan masyarakat yang belum Islam pada lingkunganya. H.A.R Gibb mengatakan bahwa pe nyebaran islam yang spektakuler di Negara-Negara Asia Tenggara adalah berkat sikap sufi yang dalam banyak hal cenderung kompomis dengan adat istiadat dan tradisi setempat. Disamping itu,patut juga dicatat bahwa faktor lain yang memudahkan tugasa para da’I sufi adalah bahwa orang-orang Indonesia sendiri memiliki kecenderungan spiritualitas yang tinggi.
Tampaknya teori sufi diatas cukup beralasan. Hal ini dapat kita lihat, misalnya mengapa pemikiran kislaman yang berkembang d Aceh pada Abad ke-17-18 M lebih berbau pemikiran tasawuf. Bukan hanya aceh, bahkan kebanyakan diseluruh kawasan Nusantara, misalnya Jawa Barat, dan daerah sulawesi, sumatera selatan Sumatera Barat, dan daerah-daerah lainnya, sampai sekarang ini masih kental dipelajari kitab-kitab bernuansa tasawuf (tipikal Ghazali) di banyak pesantren dan pengajian. Kita juga masih banyak menyaksikan acara-acara tahlilan, syukuran, ratiban, marhabaan, sakaten, dan lain-lain yang masih kental dipraktekan di beberapa wilayah di Indonesia. Acara-acara ini cenderung mengikuti tradisi-tradisi kesufian dan ketarekatan yang diariskan oleh tokoh-tokoh sufi terdahulu.
Setelah kita tahu dari pemaparan peneliti diatas saya bisa menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia Ini bukan hanya karena pedagang arab atau pedagang gujarat yang lainnya, mungkin kita sering atau pernah belajar di pelajaran sejarah umum yang pernah di pelajari keika kita SD,SMP, bahkan SMA kita hanya tahu bahwa islam masuk ke Indonesia itu dengan para pedagang, teapi lebih dari itu, coba kita pikir dengan logika mugnkinkah para pedagang memikirkan untuk berdakwah? Mungkin sebagian kecil yang berpikiran untuk seperti itu. Tapi kalau kita pikir mungkinkah para Da’I berdagang untuk menghidupi kehidupannya atau keluarganya ? karena nabi kita Muhammad juga selain jadi nabi dan rasul yang tugasnya menyampaikan wahyu, beliau juga adalah seorang pedagang dan para sahabat juga yang selain menyerukan kepada Islam mereka juga berdagang.
Saya sendiri dapat menyimpulkan, bahwa Islam masuk ke Negara Indonesia dan sekita Asia tenggara itu oleh para ulama yang sufi yaitu dengan tasawuf.