KONSEP IMAN DAN ISLAM
Bismillahirrahmanirrahim..
Assalamualaikum
Wr. Wb.
Alhamdulillah
pada kesempatan kali ini kita dapat bertemu kembali di bulan penuh berkah ini,
di kesempatan kali ini saya akan mencoba membahas tentang “KONSEP IMAN DAN
ISLAM ”.Baiklah supaya tidak panjang lebar kita langsung saja masuk ke
pembhasan nya .
IMAN (amana
- yu’minu - imanan) secara harfiyah (etimologis)
artinya percaya dengan yakin. Iman adalah akidah Islamiyah, yakni sistem
keyakinan atau kepercayaan dalam Islam. Akidah (‘aqoda – ya’qidu – ‘aqdan/aqad)
artinya ikatan, yakni ikatan hati atau jiwa alias keyakinan atau kepercayaan
merupakan inti ajaran semua agama. Dalam teologi Islam, diskursus tentang imân
ditemukan pada ajaran dasarnya (ushûl al-dîn). Kata ini dipakai dalam Bahasa
Arab secara leksikal dengan arti „percaya.” Sejalan dengan makna ini, maka
orang yang percaya disebut mu'mîn (Ind. mukmin). Ketika Rasulullah saw.
menjawab pertanyaan seorang laki-laki berbaju putih yang datang menghampirinya
ia bersabda, “Imân adalah percaya kepada Allah…” Karena kata kuncinya adalah
percaya, maka kedudukan imân selalu diposisikan –pada ajaran teologis- berada
di dalam hati (qalb), yaitu sesuatu yang menjadi unsur batin (esoteris)
manusia. Unsur batin tersebut sukar –atau tidak bisa- untuk diukur
eksistensinya tanpa melihat ekspresi lahiriah dari imân seorang yang beriman
(mu'min).
Secara maknawi (terminologis) iman adalah percaya
dengan yakin akan adanya Allah SWT, para Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, para
Rasul-Nya, Hari Akhirat, serta Qadha dan Qadar. Percaya dengan yakin kepada
keenam hal itu disebut Arkanul Iman atau Rukun Iman. Sebutan untuk
orang yang percaya dengan yakin atas Arkanul Iman itu disebut mukmin (mu’min,
orang beriman).
“Hai orang-orang yang beriman! Yakinlah
kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Kitab yang diturunkan-Nya kepada
Rasul-Nya, dan kepada Kitab-Kitab yang diturunkan-Nya terdahulu. Barangsiapa
yang kafir kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya,
Rasul-Rasul-Nya, dan Hari Kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat
jalan sejauh-jauhnya” (Q.S. 4:136)
Iman adalah masalah mendasar dalam Islam. Iman menjadi titik-tolak permulaan
seseorang menjadi pemeluk Islam (Muslim). Seseorang yang menyatakan diri
memeluk Islam harus mengikrarkan dua kalimat syahadat, mengakui Allah sebagai
Tuhan dan Muhammad sebagai Rasul-Nya.Al-Quran menggambarkan, orang yang menyatakan beriman (mukmin) ibarat melakukan transaksi jual-beli dengan Allah SWT. Orang tadi “membeli” surga dengan jiwa-raganya, atau “menjual” jiwa, raga, dan hartanya pada Allah SWT dengan bayaran keridaan-Nya.
“Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberi imbalan surga pada mereka.” (Q.S. at-Taubah:111)
Imân
akan bertambah karena taat kepada Allah dan berkurang disebabkan
maksiat kepada-Nya. Al-Bukhâri (w. 256 H./870 M.) memberikan bab khusus di
dalam kitab shahîhnya tentang dasar fluktuatif keyakinan tersebut. Dalam
korelasi ini, terlihat bahwa imân bukan hanya kepercayaan semata tetapi
juga mencakup aspek amaliah (perbuatan) dari anggota tubuh. Karena itu, makna imân
dalam perspektif ini telah merambah ke lingkup pengertian semula dari islâm,
yaitu amal-amal lahiriah
Adapun
islâm berbeda dari imân, aksentuasinya terletak pada aspek-aspek lahiriah.
Seseorang yang memeluk agama Islam disebut muslim (Ind. muslim), karena
ketundukan, kepasrahan, dan kepatuhannya kepada titah (syariat) Allah.
Rasulullah saw. –di dalam riwayat Muslim. menjelaskan bahwa islâm adalah
hal-hal yang terhubung dengan ketundukan dan kepatuhan pada amal lahiriah,
seperti melafalkan syahadah, salat, mengeluarkan zakat, puasa, dan melaksanakan
haji. Atas dasar inilah pengarang „Aun al-Ma„bd menyebutkan bahwa redaksi islâm
dipahami sebagai ajaran tentang al-arkân al-zhâhiriyyah, yakni tonggak-tonggak
dari ajaran-ajaran lahiriah.
Mukmin yang benar-benar beriman adalah mereka
yang siap menyerahkan segala yang ada padanya pada Allah SWT. Ia siap
melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ia pun siap
melaksanakan atau menghadapi segala ujian dari-Nya, untuk menunjukkan
kesungguhan keimanannya.
Jadi, setiap mukmin harus siap melaksanakan segala perintah Allah SWT dan
menjauhi segala larangan-Nya (ajaran Islam). Mukin sejati mempunyai sikap dasar
sami’na wa atho’na (kami dengar dan kami patuh).“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukumi di antara mereka, ialah ucapan ‘kami dengar dan kami patuh’. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Q.S. 24:51).
Rukun Iman
1. Iman kepada Allah SWT
1. Iman kepada Allah SWT
Beriman kepada Allah SWT artinya meyakini Allah sebagai Tuhan semesta
alam, juga yakin akan kebenaran keberadaan para Malaikat-Nya, wahyu-Nya
(kitab-kitab Allah), para rasul-Nya, hari akhir, dan Qodho dan Qadar Allah SWT
bagi setiap manusia. Pembenaran atas semua itu harus diikuti dengan tindakan
nyata, sebagai pengamalan atas keimanan tersebut.
Iman kepada Allah SWT merupakan fitrah manusia. Artinya, pada
hakikatnya seluruh umat manusia mempercayai adanya Allah SWT dan mengakui-Nya
sebagai Tuhan (Q.S. 7:172). Manusia Jahiliyah pun mengenal adanya Allah SWT
sebagai Pencipta dan Pengatur alam semesta (Q.S. 10:31, 43:9). Mereka menyembah
berhala dengan dalih untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT (Q.S. 39:3).
Al-Quran sendiri menunjukkan suatu metode yaitu dengan menyelidiki
kejadian manusia dan alam semesta. Dalam penciptaan langit dan bumi serta
pergantian siang dan malam ada tanda-tanda bagi mereka yang berakal yang memikirkannya
(Q.S. 3:190-191). Manusia diperintahkan memperhatikan kerajaan langit dan bumi
dan segala yang diciptakan Allah (Q.S. 7:185). Bahkan, diri kita sendiri harus
kita perhatikan untuk memikirkan eksistensi-Nya (Q.S. 51:21).
2. Iman kepada Malaikat
Iman kepada Malaikat adalah bagian dari iman kepada hal-hal ghaib (Q.S.
2:3). Keberadaan Malaikat dikabarkan Allah melalui wahyu-Nya. Dalil keimanan
kepada Malaikat adalah Dalil Naqli (Q.S. 2:177, 2:285, 4:136 dan
sejumlah hadits Rasulullah Saw). Malaikat tidak bisa dijangkau akal dan
pancaindera karena berada di balik alam materi.
Malaikat adalah hamba-hamba Allah yang terhormat, tidak pernah durhaka
kepada Allah, dan senantiasa mengerjakan apa saja yang diperintahkan-Nya (Q.S.
21:26-27, 66:6). Malaikat siap menjalankan tugas untuk menolong orang-orang
beriman dan “membisikkan” kepada hati mereka untuk selalu bergembira dan tidak
pernah sedih atau takut (Q.S. 8:12, 41:30).
Keimanan kepada para Malaikat minimal dibuktikan dengan adanya
kesadaran, bahwa di kiri-kanan kita selalu ada Malaikat pencatat amal (Rakib
dan Atid). Kedua Malaikat itu selalu mengawasi perilaku kita dan mencatatnya,
untuk kemudian oleh Allah SWT dimintakan pertanggungjawaban kita di akhirat
kelak. Dengan adanya kesadaran tersebut, maka perilaku kita akan terkendali.
Hanya akan mengarah kepada hal-hal yang diwajibkan dan dibolehkan oleh ajaran
Allah semata (syariat Islam).
3. Iman kepada Kitabullah
Yang dimaksud Kitabullah atau Kitab-Kitab Allah adalah
wahyu-wahyu yang diterima para Nabi/Rasul Allah. Kitab itu dinamakan pula
“Shuhuf”. Jumlah Kitab itu tidak pernah disebut angkanya dalam Al-Quran. Yang
pasti, jumlah Kitab yang wajib diimani ada empat, yakni Taurat yang diturunkan
kepada Nabi Musa, Zabur (Nabi Daud), Injil (Nabi Isa), dan Al-Quran (Nabi
Muhammad). Al-Quran membenarkan Kitab-Kitab sebelumnya dan menjelaskan
hukum-hukum yang telah ditetapkan sebelumnya (Q.S. 10:37).
Taurat, Zabur, dan Injil tidak ada lagi di dunia ini karena ia telah
terhapus (mansukh) dan digantikan Al-Quran. Kalaupun ada atau diklaim
ada, maka itu tidak asli lagi karena isinya telah bercampur dengan pikiran
manusia yang dimasukkan ke dalamnya. Misalnya dalam Taurat diceritakan tentang
kematian Musa di tanah Moab (Markus 1:14-15), padalah Taurat sendiri diturunkan
kepada Musa. Dalam Injil Markus 1:14-15 ada cerita orang lain tentang Yesus
yang menunjukkan bahwa Markus itu bukan Injil asli.
Keimanan kepada kitabullah, minimal dengan melakukan
pembenaran kepada Al-Quran, yang diikuti dengan pembacaan, penghayatan, dan
pengamalan kandungan isinya. Menjadikan Al-Quran sebagai pedoman hidup, mutlak
wajib hukumnya bagi setiap mukmin. Al-Quranlah yang merupakan hudan
(petunjuk) bagi orang-orang yang bertakwa (Q.S. Al-Baqarah:2).
Rasulullah artinya utusan Allah SWT. Mereka adalah para Nabi mulai dari
Nabi Adam hingga Muhammad Saw. Merekalah manusia-manusia pilihan Allah untuk
mengemban tugas menyampaikan ajaran-Nya, membimbing umat manusia agar menempuh
jalan hidup yang benar. Merekalah para penerima wahyu Allah SWT.
“Dan
Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali para lelaki yang Kami beri wahyu
kepada mereka. Karena itu, bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui” (Q.S. 16:43).
Manusia tidak akan memahami hakikat hidup dan kehidupan ini kecuali
diberi tahu dan dibimbing langsung oleh Sang Pencipta hidup dan kehidupan ini, yakni
Allah SWT. Pengetahuan dan bimbingan itu diturunkan Allah melalui para
utusan-Nya (para Nabi). Karena merupakan manusia pilihan, para Nabi memiliki
sifat-sifat tertentu.
- Shidiq, artinya
benar atau jujur. Seorang Nabi selalu benar dalam perkataan dan perbuatannya.
Mustahil dia berkata dusta.
- Amanah, artinya
terpercaya. Mustahil ia mengkhianati kepercayaan yang telah Allah berikan
kepadanya untuk menyampaikan ajaran-Nya kepada manusia. Rintangan dan
tantangan apa pun yang menghadangnya dalam menyampaikan ajaran Allah, ia
hadapi dengan tegar dan sabar.
- Tabligh, artinya
menyampaikan. Seorang Nabi mustahil menyembunyikan apa yang diturunkan
Allah kepadanya (wahyu). Ia menyampaikan seluruh ajaran Allah kepada umat
manusia.
- Fathonah, artinya
cerdas. Mustahil seorang Nabi itu bodoh atau lemah akal. Ia haruslah
cerdas untuk memahami wahyu Allah sekaligus memahami realitas
sosio-kultural masyarakatnya.
Keempat sifat itulah yang disebut “Empat Sifat Wajib” pada diri Nabi
sebagai utusan Allah SWT. Satu lagi sifat Nabi adalah ma’shum, artinya
terpelihara atau terjaga dari perbuatan dosa karena Allah terus-menerus
memberikan bimbingan kepadanya. Jadi, mustahil Nabi berbuat salah atau dosa.
Selain itu, ciri khas para Nabi adalah memiliki mu’jizat. Ia
adalah keajaiban (miracle) yang diberikan Allah sebagai bukti bahwa ia
adalah utusan-Nya. Nabi Ibrahim memiliki mu’jizat tidak mempan
dibakar api ketika Raja Namrud membakarnya hidup-hidup. Nabi Musa membelah Laut
Merah dengan tongkatnya ketika dikejar Raja Fir’aun. Nabi Sulaiman dapat
memahami bahasa binatang. Nabi Isa dapat menyembuhkan penyakit yang tidak dapat
disembuhkan manusia biasa. Nabi Muhammad memiliki mu’jizat terbesar
yakni Al-Quran yang tidak mampu ditiru atau ditandingi oleh ahli bahasa Arab
sekalipun.
5. Iman kepada Hari AkhirHari Akhir adalah suatu masa di mana alam dunia beserta seluruh isinya hancur-lebur. Hari Akhir disebut pula Hari Qiamat (Yaumul Qiyamah).
“Segala sesuatu yang ada di jagat raya ini akan binasa. Hanya Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan akan abadi” (Q.S. 55:26-27).
Iman kepada Hari Akhir adalah yakin bahwa setelah kehidupan dunia ini
ada alam kehidupan yang kekal, yakni Alam Akhirat. Bahwa semua makhluk akan
mati atau binasa, kemudian manusia dibangkitkan kembali untuk menjalani
“kehidupan kedua” yang kekal. Di Alam Akhirat itulah manusia menjalani
kehidupan sesungguhnya. Bahagia atau celakanya, ditentukan oleh amal
perbuatannya selama di dunia ini.
Jadi, keimanan kepada Hari Akhir itu mencakup keimanan akan adanya:- Hari Kebangkitan (Yaumul Ba’ats). Setelah dihancurleburkan, seluruh makhluk atau ciptaan Allah yang telah mati atau binasa, akan dibangkitkan (Q.S. 36:51-52).
- Hari Berkumpul (Yaumul Haysr). Setelah dibangkitkan atau dihidupkan kembali, seluruh makhluk dikumpulkan di suatu tempat yang disebut Padang Mahsyar (Q.S. 4:87, 18:47).
- Hari Pertontonan (Yaumul ‘Ardh). Di Padang Mahsyar itu diperlihatkan kepada manusia seluruh amal perbuatan mereka selama di dunia. Sekecil apa pun amal yang mereka perbuat, baik atau buruk, akan diperlihatkan (Q.S. 99:6-8).
- Hari Perhitungan (Yaumul Hisab) atau Hari Pertimbangan Amal (Yaumul Wazn). Seluruh amal manusia akan dihitung dan ditimbang (Q.S. 21:47).
- Hari Pembalasan (Yaumul Jaza’) atau Hari Keputusan (Yaumul Fashl). Amal baik dihadiahi pahala dan tempat di sorga yang penuh kenikmatan. Amal baik dikenai sanksi dosa dan tempat di neraka yang penuh kepedihan (Q.S. 40:17, 101:6-11).
Keyakinan akan adanya Hari Akhir ini mendorong seorang mukmin
menyadari, hidup di dunia ini ada artinya. Bahwa seluruh amal, baik atau buruk,
ada balasannya kelak. Efek iman kepada Hari Akhir ini adalah mendorong kaum
mukmin menjadi orang baik, saleh, dan mukhlis (rela berbuat apa saja karena
Allah).
Iman kepada Hari Akhir ini harus dibuktikan minimal dengan pengumpulan
bekal kita untuk kehidupan di sana. Yakni, berupa amal saleh. Beribadah kepada
Allah dan berbuat baik terhadap sesama makhluk, sebagaimana diperintahkan-Nya.
Yakin bahwa hidup di dunia ini hanya sementara, maka kaum mukmin mempergunakan
hidup ini sebaik-baiknya, tidak sampai terlena oleh kenikmatan duniawi yang
cenderung menjauhkan dari amal saleh yang diridhai Allah SWT.
6. Iman kepada Qodho & Qodar
Qodho dan Qodar dalam percakapan sehari-hari disebut Takdir, artinya
ketentuan Allah SWT. Menurut Al-Quran, Qodho artinya hukum (Q.S. 4:65), perintah
(Q.S. 17:23), kabar (Q.S. 17:4), kehendak Allah (Q.S. 3:47), dan menjadikan
(Q.S. 41:12). Sedangkan Qodar adalah peraturan atau sistem yang diciptakan
Allah (Sunnatullah) sebagai hukum sebab akibat (kausalitas) yang
mengikat manusia dan alam semesta (Q.S. 54:49, 33:38, 25:2).
Takdir itu meliputi natural law tentang keteraturan isi jagat
raya, ruh dalam diri manusia, jenis kelamin dan ras/etnis manusia, watak
manusia, dan usia serta nasib manusia. Bahkan, yang dimaksud dalam kebanyakan
ayat Al-Quran tentang Takdir atau ketentuan Allah adalah hukum alam (natural
law). Bintang-bintang dan planet masing-masing mempunyai jalannya
tertentu. Demikian pula tiap benda lain dalam alam semesata. Peredaran
bintang-bintang di langit, gejala alam, hidup dan mati, semuanya dikuasai oleh
hukum alam tadi
Ada dua aliran pemikiran tentang Takdir:- Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia sama sekali tidak bebas, semuanya (umur, nasib, dll.) telah ditentukan oleh Allah. Manusia hanya dapat menerima dan pasrah tidak punya pilihan. Aliran ini berpegang pada ayat-ayat tentang kekuasaan mutlak Allah.
- Qodariyah yang mengatakan bahwa manusia bebas mengatur dirinya sendiri dan menentukan jalan hidup dan nasibnya sendiri. Aliran ini mendasarkan pendapatnya pada ayat-ayat tentang ikhtiar atau kebebasan memilih (free will, free choice) manusia.
“Dan katakanlah: Kebenaran itu dari Tuhanmu. Maka barangsiapa yang menghendaki beriman, maka berimanlah, dan barangsiapa yang menghendaki kafir, maka kafirlah dia” (Q.S. 18:29).
Kedua aliran tersebut sama-sama sesat dan menyesatkan. Keduanya menempuh jalan ekstrem. Yang satu menutup ikhtiar manusia dan yang kedua mengingkari adanya ketetapan Allah. Jabariyah menjadikan Allah berlaku tidak adil karena memaksa manusia. Bahwa Allah menciptakan perbuatan makhluknya, baik dan buruk.
Jalan terbaik adalah sikap moderat atau tengah-tengah di anatara kedua aliran tersebut, yakni “meyakini bahwa amal dan nasib kita sudah ditentukan oleh Allah, namun ketentuan itu bergantung pada ikhtiar manusia sendiri untuk mempertahankan atau mengubahnya”.
“Allah menghapus apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki) dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitab (Lauhul Mahfudz)” (Q.S. 13:39).
Kenyataan adanya aksentuasi makna imân dan islâm pada ranah tertentu
telah menjadi problem teologis sehingga turut memiliki kontribusi mendorong munculnya
aliran-aliran di dalam Islam. Aliran yang paling ekstirm dalam hal ini adalah
aliran takfîrî, yaitu kelompok yang memfonis kafir orang-orang yang telah
bersyahadat disebabkan meninggalkan ajaran-ajaran yang wajib atau melakukan
sesuatu yang dilarang atau diharamkan.
Aliran teologi yang paling rentan terjebak ke dalam paham takfîrî
adalah aliran yang memahami bahwa imân secara haqîqî mencakup ajaran batin dan
lahir sekaligus. Sebab, dalam pandangan sederhana bahwa ketika amal-amal lahir
dianggap sebagai bagian dari akidah (ajaran dasar), maka meninggalkannya atau
melanggarnya tentu berimplikasi kepada pencederaan keyakinan. Ketika amal
dipahami sebagai bagian utama dalam keyakinan akidah, maka mereduksinya akan
mengakibatkan kerusakan imân tersebut atau justru sirna sama sekali. Imân yang
rusak atau sirna akan mengakibatkan kekafiran dan mengeluarkan seseorang dari
agama Islam. Dasar pemikirannya cukup jelas, imân adalah fondasi yang tidak
boleh sedikitpun rusak atau hilang sebagaimana ajaran-ajaran akidah lainnya.
Inilah yang terjadi pada kasus Khawarij, sebagian pengikut Muktazilah, dan
sejumlah Ahli Hadis. Kendatipun Muktazilah menggunakan ajaran al-manzilah bain
al-manzilatain untuk menghindarkannya dari memonis kafir, namun pada intinya
mereka mengeluarkan pelaku dosa besar dari ke-imân-an. Kelompok yang paling
ekstrim adalah Khawârij, mereka mengafirkan kaum Muslim yang melakukan dosa
besar secara mutlak, bahkan bagi para sahabat Nabi saw. Paham-paham seperti ini
kerap memanipulasi term-term keagamaan seperti jihad, amar makruf dan nahyi
munkar, penegakan hukum qishas hudud, penduduk dâr al-harb, sebagai legitimasi
kekerasan dan teror. Pemahaman seperti ini dikenal dengan kelompok ifrâth
(terlalu ketat) yang berseberangan dengan kelompok tafrîth (terlalu liberal).
Murji'ah adalah representasi dari kelompok tafrîth yang ekstrim dalam
menilai amal-amal lahir sebagai sesuatu yang tidak memiliki hubungan dan
konsekuensi dengan ke-imân-an. Sehingga kelompok ini menjadi kelompok yang
menihilkan peran amal di dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Paham irjâ'î
pada tataran praktis dapat dilihat dalam masyarakat yang mengakui sebagai
Muslim namun tidak menganggap penting ibadah-ibadah mah«ah seperti menegakkan
salat, berzakat, berpuasa pada bulan Ramadan, menegakkan ajaran (syariah) Islam
dan kewajiban-kewajiban diniyyah lainnya. Ini adalah suatu problem ketika
amal-amal lahir tidak menjadi bagian dalam konstruksi ke-imân-an. Hal yang
paling ekstrim yang dapat terjadi dari bias pemahaman ini adalah menetapkan
batasan yang terlalu longgar terhadap pemberian identitas Mukmin dan kafir atau
Muslim dan kafir. Salah satu contohnya adalah apa yang dikemukakan oleh Jahm
ibn ¢afwan, salah seorang perintis aliran ini. Baginya, amal dari anggota tubuh
(a„mâl al-jawârih) bukanlah bagian dari imân. Karena itu, sekalipun seseorang
tidak melakukan iqrâr dan tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban syariah
(farâ'iz) tetapi ia telah mencapai ma'rifah, maka ia adalah Mukmin. Sementara
itu, kufr adalah kebodohan (jahl) terhadap Allah. Apabila seseorang telah
memperoleh ma„rifah, lalu ia menolak (juhd) secara verbal terhadap apa yang
diketahuinya, maka penolakan itu tidak menjadikannya kafir. Sebab ia tidak bisa
mengingkari ma„rifah-nya. Oleh sebab itu, ketika seseorang mengatakan dengan
lisannya bahwa Allah memiliki serikat, atau memiliki anak, dan lainnya, namun
di dalam hatinya menyelisihi apa yang disebutkannya, maka ia adalah Mukmin dan
ucapan itu tidak memiliki implikasi apapun terhadap ke-imân-annya. Pemikiran
seperti ini tentu akan mengacaukan pemberian identitas dan batasan-batasan
kepada seseorang sebagai Mukmin atau kafir atas apa yang diucapkan dan
dilakukannya.
Penutup
Dalam mengkaji konsep keimanan tidaklah cukup untuk memahami nya hanya
dengan 1-2 jam, bahkan 1-2 tahun pun belum cukup. dan pada kesempatan kali ini
saya hanya menjabarkan dengan singkat dan dalam garis besar nya saja. Dalam kajian ini
ditemukan bahwa problem teologis yang telah lama mencuat di tengah kaum Muslim
dan ditanggapi oleh banyak aliran adalah tentang imân dan islâm. Di antranya
Salaf al-Ummah, Khawârij, Murji'ah, Ahli Sunah Waljamaah yang dalam tulisan ini
mencakup tiga kelompok, yaitu Salafîyyah,Asy„ariyyah, dan Mâtûridiyyah-,
Muktazilah, dan Syi„ah. Secara umum aliran-aliran tersebut selalu menempatkan
imân sebagai ajaran batian atau hakikat dan islâm sebagai ajaran lahir atau
syariat.
Di antara aliran-aliran di atas ditemukan kelompok yang berfaham
terlalu ketat (ifrâth) dan pada kelompok lain terlalu longgar (tafrîth).
Murji'ah adalah refresentasi dari kelompok tafrîth yang ekstrim dalam menilai
amal-amal lahir sebagai sesuatu yang tidak memiliki hubungan dan konsekuensi
dengan keimanan. Sehingga, kelompok ini menjadi aliran yang menihilkan peran
amal di dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Khawârij adalah representasi
dari kelompok ifrâthyang menjadikan amal-amal lahir atau ajaran-ajaran cabang
(furu„) sebagai bagian dalam hakikat imân. Sikap ekstrim dalam ranah ini selalu
mengategorisasikan umat Muhammad saw. secara hitam putih antara Mukmin dan
kafir. Karena para pelaku dosa besar dihukumkan keluar dari Islam, maka pada
tataran tertentu mereka memerangi dan menghalalkan darah para peninggal
ajaran-ajaran lahir tersebut. Paham-paham seperti ini telah bermutasi dalam
berbagai nisbat penyebutan dan kerap memanipulasi term-term agama seperti
jihad, al-amr bi al-ma„rûf dan nahyi munkar, penegakan hukum qishâs, hudûd,
penduduk dâr al-harb, sebagai legitimasi kekerasan dan terror. Karena itulah
pemahaman ini cukup berbahaya tidak saja pada era-era awal kemunculannya tetapi
juga sepanjang sejarah manusia.
Rujukan
Drs. Nasruddin Razak, Dienul Islam, Maarif Bandung, 1989, hlm.
131-132.
Tentang
Qadho dan Qadar disebutkan secara terpencar dalam Al-Quran dan Hadits-Hadits
Rasulullah Saw
Toshihiko Izutsu, The Concept of Belief in Islamic
Theology: A Semantical Analysis of Imân and Islam, terj. Agus Fahri Husein
(Tiara Wacana: Yogyakarta, 1994),
Abû at-Tayyib, „Aun
al-Ma„bd Syarh Sunan Abî Dâwud, (Dâr
al-Kutub al-„Ilmiyyah: Beirut, 1415)
Ibn Hajar al-„Asqalânî, Fath al-Bârî,
(al-Maktabah asy-Syâmlah, tt.)Juz I
Al-Bukhâri, Shahîhal-Bukhârî
(al-Maktabah asy-Sy±mlah, tt.), Juz I.
Konsep al-Iman dan al-Islam (Husnel Anwar Matondang)
Konsep al-Iman dan al-Islam (Husnel Anwar Matondang)
Tugas !
Tuliskan ayat dari alqur’an beserta artinya
1.
(Q.S. 13:11).
2. (Q.S. 57:22).
3. (Q.S. 13:11).