--> Skip to main content

Advester

NASIR AL-DIN THUSI


Ketika Hulagu Khan, sang  penakluk dari Mongol, pada tahun 1256 M berhasil menaklukan  benteng alamut, yang megah dan kokoh, ditengah pegunungan kaukasus yang dipertahankan oleh Hasan ibn Sabha dan para pengikutnya  (kaum assassin). Dari tawanan yang dirantai dan diseret dihadapan hulagu, terdapat seorang pria setangah baya yang memberi kesan kepada hulagu karena kefasihan lidahnya dan intelegensinya yang luar biasa, apalagi ia adalah seorang astrolog ulung yang bisa meramal nasib, maka hulagu mengambilnya sebagai penasihat (wazir) selama hidupnya dan pengawas tanah-tanah wakaf, orang tersebut adala thusi.
Thusi nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad ibn Muhammad al-Hasan Nashir al-Din al-Thusi al-Muhaqqiq lahir pada 18 Februari 1201 M/597 H di kota Thus sebuah kota di Khurasan.  Tempat ia menerima pendidikannya yang pertama dari Muhammd ibn Hasan. Gurunya yang lain adalah Mahdar Farid al-Din Damad dalam bidang fiqih, ushul, hikmah, dan ilmu kalam, Muhammad Hasib dalam bidang matematika di naishapur. Kemudian ia pergi ke Baghdad untuk belajar pengobatan dan filsafat pada Qutb al-Din, dan matematika pada kemal al-Din Yunus, sedangkan fiqih dan ushul pada Salim ibn Badran. Kemasyhurannya sebagai sarjana berpengetahuan luas tersiar ke berbagai wilayah Persia, lalu ia diculik oleh Nasir al-Din abd al-Rahman ibn Ali Mansur, Gubernur kaum Ismail di Kohistan, yang mengutusnya ke Alamut, Thusi berada di Alamut sampai di taklukan Hulagu.
Thusi dikenal sebagai seorang ahli matematika, astronomi, optik, geografi, farmakologi, filsafat, musik, dan minerakologi terkumuka setelah invasi mongol. Pada usia 60 tahun, tepatnnya pada tahun 657 H/1259 M (setahun setelah penaklukan Baghdad) Thusi berhasil membujuk Hulagu untuk membangun observatium (rasad khanah), yang kemudian menjadi terkenal dibawah pimpinan al-Thusi, di Marahah, Azarbaijan. Observatorium ini merupakan pusat terbesar ketiga penelitian sastra dan astronomi dai timur setelah Daral-hikmahdi aghdad yang didirikan oleh Al-ma’mun al-Rasyid  pada paroh pertama abad IX dan Bait al-Hikmah di Kairo yang didirikan oleh al-Hakam dari daulah Fatimiyah pada paruh pertama abad XI. Observatorium yang peninggalannya sampai saat ini masih ada, dilengkai dengan peralatan terbaik, seperti peta bola langit dan perpustaan yang menurut Ibn Syakir memiliki buku lebih dari 400.000 yang di kumpulkan oleh pasukan Mongol dari Syria, Irak, dan Persia, disamping itu didukung oleh staf yang terdiri dari astronom terkumuka pada abad itu, seperti Mohi al-Din al-Maghribi dan Abul Farraj, sehingga memudahkan melakukan penelitian-penelitian yang sangat penting dibawah pimpinan Thusi. Ia juga tetap mempertahankan pengaruhnya di istana Mongol hingga masa Abaka, sampai wafat pada 26 juni 1274 M/672 H di Baghdad. Salah satu bukti kejeniusan Thusi, ia mengeritik ptolemeus yang dikenl dengan Thusi Couple (pasangan Thusi). Kejeniusannya juga tergambar dari tulisannya yang banyak dalam berbagai hal, termasuk doktrin Ismailiyah katika ia berdinas pada kaum tersebut. Tetepi kemampuan Thusi ini sering disalah pahami sebagai ketidak konsekuenan sikapnya.
Sosok Thusi memberikan gambaran bahwa kehacuran politik tidak berarti secaa otomatis memusnahkan kehidupan intelektual. Apa yang dialami dunia Islam pada masa disintegrasi yang ditandai dengan kehancuran Baghdad dan berakhirnya daulah Abasiyah, ternyata Thusi memanfaatkan “kebringasan” Hulagu Khan untuk menyelamatkan khazanah pemikiran Muslim. Dengan demikian, kebangkitan kembali atau perkembangan ilmu-ilmu dan filsafat di pengujung abad VII H/XIII M, berpusat di sekitar pribadi Thusi, sehingga berbagai gelar diberikan kepadanya, orang Persia menyebutnya ustadz al-basyar(guru manusia), Ivanov menjulukinya dengan “kamus hidup”,Bar-Hebraeus menganggapnya sebagai “orang yang berpengatahuan luas di semua cabang filsafat” dan afnan menyebutnya sebagai “komentator mahir terhadap karya ibnu sina”.
Sebenarnya bukan saja al-Ghazali yang melakukan serangan terhadap filusuf, fakhruddin ar-Razi, teolog, mufassir al-Qur’an dan banyak menulia IPA dan matematika, yang hidup hampir seabad setengah al-Ghazali, juga melakukan hal yang sama, tetapi tidak begitu dikenal, padahal kritik razi tersebut mempnyai akibat lebih lanjut dari segi teknis filosofis ketimbang serangan al-Ghazali. Al-Razi berupaya menghancurkan pengaruh filsafat peripatetik dengan menulis kritik terhadap karya besar filsafat ibnu Sina, buku pedoman dan catatan.
Kritik al-Ghazali dan al-Razi tersebut disambut oleh Thusi yang berusaha menegakan kembali aliran ibnu Sina, dengan menulis ulasan atas kitab al-isyarat wa at-tanbihat yang ditulis oleh ibnu Sina. Usahannya inilah yang memberikan pengaruh dan bertahan lama ketimbang karya ibnu Rusyd,  Tahafut al-Tahafut, khususnya di belahan timur, sehingga di timur Thusi lebih di kenal sebagai filusuf, sementara di Barat sebagai matematik dan astronom.
KARYA-KARYA NASIRUDIN THUSI
            Benar kalau dikatakan bahwa Thusi adalah seorang ulama yang menguasai berbagai ilmu, bukan hanya seorang filusuf semata. Hal itu terlihat dari disiplin keilmuan yang di tulisnya dalam bentuk buku/kitab. Karl Boeckelmann mengumpulkan tidak kurang dari 56judul karya Thusi, sementara Ivanov mengatakan bahwa karya Thusi ada 150 judul, sedangkan Mudarris Ridwi menyebutkan sekitar 130 judul. Berikut ini karya Thusi yang saya dapatkan dari website[1] :
1.      Tentang logika
a.       Asas al-Iqtibas
b.      Al-Tajrid ‘Ilm al-Mantiq
c.       Syarh-i Mantiq Al-Isyarat
d.      Ta’dil Al-Mi’yar
2.      Di bidang Metafisika
b.      Itsal-l jauhar Al-Mufariq
c.       Risalah dar wujud-l Jauhar-l
d.      Mujarrad
e.       Risalaalh dar Itsbat-l ‘Aql-l fa’al
f.       Risalah Darurat-l Marg
g.       Risalah sudur Kthrat az Wahdat
h.      Risalah ‘Ilal wa Ma’lulat Fushul
i.        Tashawwurat
j.        Talkis Al-Muhassal dan
k.       Hall-l Musykilat Al-Asyraf
3.      Tentang Etika
a.       Akhlak-l nashiri
b.      Ausaf Al-Asyraf
4.      Di bidng Teologi/Dogma
a.       Tajrid al-aqa’id
b.      Qawa’id al-aqa’id
c.       Risalah- l Itiqodat
5.      Tentang Astronomi
a.       Al-Mutawassit Bain Al-Handasa wal Hai’a buku suntingan dari sejumlah karya Yunani, Ikhananian Table (penyempurnaan plnetary Tables)
b.      Kitab At-Tazkira fi al’Ilmal Hai’a  buku ini terdiri dari empat bab (a) pengantar Geometrik dan sinematika dengan diskusi tentang saat behenti, gerak gerik sederhana dan kompleks, (b) pengetian astronomikal secara umum, perubahan sekular pembiasaan ekliptik. Sebagian dari bab ini diterjemahkan oleh Carr De Vaux penuh dengan keritik yang tajam atas Almagest karya Ptolemy. Kritikan ini merupakan pembuka jalan bagi Copernicus, terutama pembiasaa-pembiasaan pada bulan dan gerakan dalam ruangan planet-planet (c)bumi dan pengaruh benda-benda angkasa atasnya, termasuk didalamnya tentang laut, angin pasang dan bagaimana hal ini terjadi (d) dasar dan jarak antara Planet
c.       Zubdat al-Hai’a (yang terbaik astronomi)
d.      Al-Tahsil fil al-Nujum
e.       Tahzir Al-Majitsi
f.       Mukhtasar fial-Ilm At-Tanjim wa ma’rifat At-Taqwim (ringkasan astrologi dan penanggalan)
g.       Kitab Al-bari fi Ulum At-Taqwim wa Harakat Al-Falak wa Ahkam An-Nujum (buku terunggul tentang almanak, gerak bintang dan astrologi kehakiman)
h.      Ilkhanian Tables ( penyempurnaan planet Tables )
6.      Di bidang Aritmatika, Geometri dan Trigonometri
a.       Al-Muktasar bi Jami At-Hisab bi at-Takht wa At-Turab (iktisar dari seluruh perhitungan dengan tabel dan bumi)
b.      Al-Jabr wa Al-Muqabala (risalah tentang aljabar)
c.       Al-Ushul Al-Maudua (risalah mengenai Euclidas Postulate)
d.      Qawaid Al-Handasa (kaidah-kaidah geometri)
e.       Tahrir al-Ushul
f.       Kitab Shakl Al-Qatta (risalah tentang trilateral), sebuah karya dengan keaslian luar biasa, yang ditulis sepanjang abad petengahan. Buku tersebut sangat berpengaruh di Timur dan di Barat sehingga menjadi rujukan utama dalam penelitian trigonometri.
7.      Di bidang optik
a.       Tahrir kitab Al-Manazir
b.      Mabahis Finikas Ash-Shu’ar wa in Itaafiha (penelitian tentang refleksi dan defleksi sinar-sinar)
8.      Di bidang seni [syair] meskipun tidak sekaliber Omar Khayam ataupun Jalaludin Rumi, ia juga mampu menghasilkan karya yang diabadikan dalam bukunya yang berjudul kitab fi Ilm Al-mau-siqi dan Kanz At-Tuhaf
9.      Di bidang medikal adalah kitab Al-Bab Bahiyah Fi At-Tarakib As-Sultaniyah; buku tentang cara diet, peraturan-peraturan kesehatan, dan hubungan seksual.
Thusi dengan jelas menyatakan bahwa setiap perbandingan suatu besaran, apakah sepadan atau tidak, dapat dikatakan sebagai sebuah bilangan, suatu pernyataan Newton yang membantu menegaskan kembali ke dalam Universal Arithmetic pada tahun 1707.
Nashirudin Abdurrhman, Gubernur Islamiah dari Quhistan, memerintahkan Thusi menerjemahkan kitab Ath-Thaharah (Tahzib Al-Akhlaq), kitab karangan Ibnu Maskawaih dari bahasa Arab ke bahasa Parsi. Namun, Thusi melihat karya Ibnu maskawaih tersebut terbatas pada pengambangan disiplin moral.Prihal yng berhubungan dengan rumah tangga dan politik tidak disinggung dalam buku tersebut.Padahal, keduanya merupakan aspek yang sangat penting dalam filsafat praktis dan karena itu tidak boleh diabaikan. Atas dasar itulah memasukan rumah tangga kedalam karyanya: Akhlaqi Nashiri, dengan memtik pemikiran Al-Faraby dan Ibnu Sina. Atas hal itu, karya tersbut tidak semata-mata terjemahan dari Tahzib Al-Akhlaqsebagaimana dikatakan dalam Encyclopedia of Islam, tetapi lebih bersifat ringkasan dari buku Tahzib Al-Akhlaq denga format dan klasifikasi yang seepnuhnya merupakan karya At-Thusi.
Bukunya Akhlaki Nashiri/ mengklasifikasikan pengetahuan kedalam spekulasi dan praktik.Pengetahuan spekulatif dibaginya pula dalam metafisika dan teologi.Matematik (termasuk optik, musik, dan mekanik), ilmu-ilmu alam termasuk elemen ilmu-ilmu transportasi, meteorologi, mineralogi, botani, astrologi, dan agrikultur.Pengetahuan praktis termasuk etika, ekonomi domestik, dan politik.
3.FILSAFAT NASIRUDDIN THUSI
            Menuru pandanngan Bakhtiar Hosain, Thusi lebih pantas disebut sebagai sarjana yang mahir daripada seorang ahli pikir yang kreatif (filusuf) dan kedudukannya, terutama sebagai seorang penganjur gerakan kebangkitan kembali, sementara kaya-karyanya kebanyakan bersikap eklestis (bersifat memilih dari berbagai sumber).Akan tetapi, meskipun dia seorang pengajar gerakan kebangkitan kembali dan seorang eklestik, dia tetap memiliki keaslian.Minatnya yang banyak dan berjenis-jenis mencakpp filsafat, matematika, astronomi, fisika, ilmu pengobatan, miralogi, musik, sejarah, kesasraan dan dogmatik.
Berikut ini adalah beberapa pemikiran pokok filsafatnya yaitu filsafat metafisika, moral, jiwa, logika, dan tuhan :
 Metafisika
Metafisika terdiri atas dua bagian :
1.      Ilmu Ketuhanan (‘Ilm-i Ilahi), mencakup persoalan ketuhanan, akal, jiwa, dan hal-hal yag berkaitan dengan hal tersebut, seperti kenabian (nubuwwat) kepemimpinan spiritual (imamat) dan hari pengadilan (qi-yamat).
2.      Filsafat Pertama (falsafah-i ula), meliputi alam semesta dan hal-hal yang berhubungan dengan alam semesta termasuk dalam hal ini pengetahuan tentang ketunggalan dan kemajemukan, kepastian atau kemungkinan, esensi dan eksistensi, kekekalan dan ketidak kekalan.
Bagi Thusi, Tuhan tidak perlu dibuktikan secara logis. Eksistensi Tuhan harus diterima dan dianggap sebagai potulat, bukannya dibuktikan.Mustahil bagi manusia yang terbatas untuk memahami tuhan di dalam keseluruhan-Nya, termasuk membuktikan eksistensi-Nya.
Mengenai penciptaan, Thusi menulis dalam Tasawwurat bab II tentang “turunnya semua benda dunia dari sebab yang awal” ia menjelaskan masalah ini dalam bentuk delapan soal-jawab, sebagai berikut :
Soal :        berapa orang berpendirian bahwa sumbe eksistensi adalah satu, yang lain mengatakan dua, yang lain tiga dan yang lain lagi empat. Bagaimana pendapat anda tentang ini?
Jawab :     pendapat saya ialah sumber eksistensi adalah satu, yaitu kehendak Allah maha Tinggi, yang disebut “Kalam” Makhluk pertama yang tercipta langsung dengan kehendak kreatif tersebut, tanpa perantara apapun ialah [akal] pertama itu, (semua) makhluk lain terjadi dari kehendak Ilahi itu dengan barbagi perantaraan, jadi [jiwa] tercipta melalui [akal] dan [hyle], alam dan benda lain lahr melalui [jiwa].
Soal :        sebagian orang berkata bahwa tindakan pencitaan yang terbit dari kehendak Khalik Maha Tinggi –tanpa suatu perantara dan tidak pada saat tertentu- harus dibayangkan seperti cahaya yang memancar dari lampu. Tapi, sebagian berkata, bahwa cahaya memancar dari lampu secara otomatis, yakni tanpa kehendak dan jika hal ini juga diterima dengan perumpamaan itu, ia tidak membuktikan eksistensi pencipta ataupun tindakan pecitaan. Apa kata anda tentang hal ini ?
Jawab :     apa yang dikatakan tentang tindakan kreatif dari kehendak Al-Khalik dengan perumpamaan cahaya lampu hanyalah satu metafor, suatu pernyataan kiasan yang diterapkan bagi mannusia ataupun tuhan dengan maksud agar orang lantas mengarti dan menyadari prilaku kehendak ilahi itu dari perumpamaan tadi, dalam hal : ini bukanlah supaya mereka menerima perumpaan itu dalam realitasnya persis sama dengan yang dibandingkan. Sifat-sifatyang dikenakan orang kepada tuhan maha tinggi, seperti eksistensi absolut, kesaan, kesederhanaan zat, spontanitas, pengetahuan, kekuasaan, dan sebagainya dalam gaya yang serupa seperti mengatakan bahwa tuhan adalah cahaya Murni atau Kurnia Mutlak atau kemurahan hati, kedermawanan, anugerah, kebajikan, yang dalam arti luas adalah sebab dari eksisensi 18.000 dunia dan dalam arti sempit ialah sebab dari kesempurnaan tabiat dunia-dunia tersebut. Pluaritas, dualitas atau multiplisitas dan fakta, bahwa semua sifat demikian seperti eksistensi mutlak, keesaan, ada, kesederhanaan subtansi, spontanitas, kehendak, kebajikan, kekuasaan dan sebagainya dikenakan kepada-Nya secara terpisah, ini tidak berarti bahwa semuanya ini tidak menyatu dengan Dia. Depat disimpulkan bahwa (sifat-sifat) yang diciptakan merujuk (hanya) kepada makhluk, tidak kepada allah. Jadi, spontanitas atau otomatisme yang telah anda sebutkan itu tidak bisa diterapkan di dunia nyata –bagaimana ia akan bisa belaku dalam hal ini ?
Soal :        kami ingin penjelasan tentang kajadian ciptaan pertama dari kehendak ilahi.
Jawab :     penjelasannya begini. Karena Tuhan menyadari diri-Nya sebagai pencipta, maka kenyataan ini membuat perlu adanya makhluk, makhluk itu ialah [akal] pertama dan karena [akal] pertama itu adalah keesaan mutak, esa dalam semua hal, maka timbul masalah prinsip, yang mengatakan “dari satu hanya bisa timbul satu” (yakni, satu sebab sederhana hanya menghasilkan satu akibat).
Soal :        anda telah menjelaskan asal [akal] pertama daris sebab pertama, apa kata anda tentang makhluk yang lain ?
Jawab :     pertanyaan ini dapat di jawab dengan dua cara, secara menyeluruh atau sebagian. Jawaban yang penuh ialah bahwa [akal] pertama dengan kekuatan bantuan ilahi dari Kalm tertinggi [yakni kehendak ilahi], mengabarkan ide tentang segalanya, yang spiritual maupun material, sampai ke batas terakhir. Jadi semua yang membentuk dunia saat ini, dari angkasa luar hingga ke inti bumi, harus mempunyai rupa dan penampilan khusus ini, membentuk suatu organise yan mesti memiliki jiwa untuk mempertahankan, mengatur dan mengawasinya, ide tentang [akal] seperti itu merupakan sebab kejadian asal semua ciptaan serta segala yang diperluka setiap makhluk. Jadi, (akal) dengan peran sertanyadalam mengatur dunia, aktivitas (jiwa), semua langit dan pengaturannya, elemen dengan pengaruhnya, kekayaan alam dengan interrelasinya, dengan semua yang mendasari kesejahteraan segalanya itu dan juga semua yang terus menerus mereka butuhkan, sekaliannya ini ada dalam ide yang digambarkan oleh [akal]. Hal ini adalah seperti pikiran yang timbul selintas: secepat [akal] membayangkan ide itu, maka seuanya terjadi seketika dengan cara penciptaan dan permulaan. Kedua hal terakhir ini merupakan kesatuan: peciptaan –yang merujuk kepada akal- terjadi karena kehendak ilahi tanpa suatu perantara dan permulaan yang merujuk kepada subtansi spiritual dan material yang terjadi lewat [akal] dan [jiwa]
                 Penjelasan rinci adalah sebagai berikut : ketika [akal] pertama memikirkan sebabnya sendiri, yang punya afinitas yang lebih tinggi, maka pikirannya itu mejadi sebab kejadian [akal] kedua, yakni [akal] dari langit atas, yang disebut juga langit Atlas atau Tahta. Ketika ia [akal pertama] menimbang-nimbang subtansinya sendiri –yang punya afinitas antara, yaitu mengerti bahwa ia disebabkan oleh ssesuatu yang lain- maka pikiran itu menjadi sebab kejadian [Ruh Sememsta], yakni [ruh] angkasa luar. Dam ketika ia [akal] pertama, memikir-mikirkan eksistensinya sediri melalui kemungkinan –yang punya afinitas rendah, yaitu menyadari bahwa ia sendiri tidak ain hanyalah satu kemungkinan –peikiran ini menjadi sebab eksistensi angkasa liuar itu sendiri.
Soal :        tidak ada benda nyata yang terwujud tanpa (partisipasi) [Hyle] danbentuk yang mendahului benda tersebut. Jadi, mengapa anda membicarakan kejadian langit
Jawab :     [Hyle] dan [Bentuk] terjadi ketika [Ruh semesta] semakin substansi [akal] pertama dan enyadari bahwa ia sempurna. Dari kesempurnaan, dan ketika [ruh semesta] memikirkan substansinya sendiri dan menyadari dirinya sendiri tidak sempurna, dari kesadaran ini muncul [Hyle], yang berasal dari bidang kekurangan kedua hal ini perlu bagi [jiwa], kaena ia punya dua wajah, satu sisi menghadap keesaan dan yang lain ke acara pluralitas.
Soal :        karena keesaan adalah ciri bagi [akal] dan pluralisme adalah ciri bagi [Ruh], mengapa anda memberikan tiga pemikiran bagi [Akal] sedangkan untuk [Ruh] hanya dua ?
Jawab :     karena dalam hal [akal] semuanya adalah kesempurnaan dan untuk segalanya itu, semua aspek relatif adalah satu dan uyang astu itu ada dalam kenyataan bahwa ia berpaling padda Dia, yang maha Tinggi karenanya, satu ide disini berarti semua ide dan semua idenya adalah satu. Tapi lain halnya dengan [ruh]yang mnempati kedudukan lebih rendah dan memiliki ketidaksempurnaan pada substansi-nya, hal-hal lain yang telah disebutkan, yakni [Ruh], [Akal], langit, elamen, kerajaan alam, dan akal angkasa luar, falaku-l-aflak, semuanya juga mesti punya tiga Tshawwur (saat kognisi) seperti halnya [Akal] pertama. Satu tashawwur perlu untuk melahirkan [Akal] kedua, yakni [Akal] langit bintang-bintang tetap atau tahta tuhan. Satu tashawwur diperlukan untuk pembuatan segala yang ada diantara [langit bintang tetap] hingga [akal] langit zuhal dari (satunus) dari sana lalu ke [akal] langit Musytari (Jupiter). Dari situ ke [Akal] langit Murikh (Mars), lalu ke [Akal] langit Matahari, dari sini ke [Akal] langit Zuhra (venus), lantas ke ke [Akal] langit Atarid (Merkurius), lalu ke [Akal] langit bulan. Setiap [Akal] ini perlu tiga (ide) untk melahirkan [Akal], [ruh] dan langit yang berikutnya. [Hyle] dan bentuk tiap langit dengan sendirinya lahir dari dua kesadaran tadi, yaitu kesadaran akan kesempurnaan [akal] dan ketidak sempurnaan dirinya sendiri, yang timbul pada [Ruh] yang bersangkutan. Demikian aturan yang ditentukan oleh yang Maha Agung dan Bijaksana. Penciptaan alam lingkungan langit di tentukan sendiri atas sembilan langit sembilan langit yag berputar itu. Tiap langit dilengkapi dengan satu [Ruh] dan satu [Akal] yang mengatur Ruh itu.Ini dibuat agar setiap langit mempunyai agen penggerak yang bebas dan langsung. Penggerrk terpisah ini ialah [Akal] dan gaya gerak langsung itu adalah [Ruh]. Ini dapat dibandingkan umpamanya dengan satu magnet yang dengan dirinya tidak bergerak tapi menggerakan dan menarik besi ke arahnya.Dan “penggerak langsuung” itu umpamanya seperti angin yang berputar mengelilingi dan menggoncang pohon. [Akal] terakhir yang bertalian dengan langit yaitu langit bulan dinamakan [Akal Aktif], yakni “efektif” “pembuat”, karena inilah [Akal] yang mengubah benda di dunia ini dari keadaan potensial ke keadaan aktual. Dengan alasan yang sama ia juga di sebut “pemberi bentuk” karena ia memberikan bentuk kepada benda di dunia ini.
Soal :        apakah kata anda; apakah jumlah langit seperti adanya tidak lebih banyak dan tidak kurang sebanyak seembilan, karena ini adalah jumlah terakhir benda? Atau karena [Hyle] telah habis atau ada alasan lain?
Jawab :     Dunia ini merupakan apa yang di sebut dalam Al-Qur’an (QS.al-Baqarah, 2:225), ‘mereka tidak mengetahui sesuatu dari ilmu Allah kecuali apa yang dikehendaki-Nya”, begitu ditakdirkan oleh perintah dan kebijaksanaan Allah yang Maha Tinggi, bahwa ada sembilan langit, dua belas konselasi zodiak, tujuh “ayah”, yaitu planet, empat “Ibu” yakni elemen dan tiga kerajaan alam. Hanya para pemimpin kebenaran, (yakni para imam) patut kita bersujd menyebut nama mereka!-yang mengetahui bagaimana dan mengapa dibuat begini, karena (hanya) mereka yang mengetahui penciptaan secara menyeluruh dan diberi tahu (tentang perinciannya). Hamba Allah yang awam hanya bisa membicarakan sebanyak yang mereka pelajari dai da’i (pendakwah islamiyah) mereka. Dari Alah datang petunjuk dan pada-Nya pertolongan. Mengenai elemen dan kerajaan Alam, [Ruh Semesta], karena keinginan yang dirasakan akan kesempurnaan kedudukan [Akal] pertama dan mencontoh yang terakhir ini seperti biasanya, membuat langit tetap bergerak secara kontinyu. Tapi dalam hal perfeksi, rotasi langit ditakdirkan merupakan gerak hidup dan hanya dapat (dimanifestasikan) pada organisme individual, yang terdiri dari materi dan bentuknya, yang membutuhkan sebab yang sesuai dan berkolerasi (guna eksistensinya). Dengan rotasi, yang dilakukan (setiap) keliling langit mengitari pusatnya menurut aturan yang otonom, elemen-elemen yaitu api, udara, air, tanah –yang merupakan bahan alam dalam rongga langit bulan- menjadi tersusun dalam dan sistem benda. Masing-masing elemen dasar yang empat ini, yang berada lebih dekat ke langit terbukti punya substansi ringan dan halus (dari yang lain), seperti upamanya api, yang berada diatas udara lebih halus substansinya daripada udara, meski lebih padat jika dibandingkan dengan substansi langit. Uadara, yang ada diatas air, lebih halus, sedangkan ia lebih padat ketimbang api. Air, yang ada diatas tanah, lebih halus dari tanah tapi lebih padat jika dibandingkan dengan udara.Tanah, yang berada paling jauh dari langit bersifat padat.
Gaya tindakan kratif, melalui penciptaan, mencapai Tahta Tuhan, dari sini sampai di kursi dan dari situ turun ke langit saturnus dan melekat disana. Dengan cara seperti ini turun lebih lanjut dri satu langit ke langit yang lain hingga mncapai langit bulan. Lalu cahaya dan sinar bintang-bintang dengan kekuatan energi itu dan dengan perataran langit dan bulan jatuh keatas elemen dan pasti itulah sebab yang merangsang (aktivitas) elemen.Karena hal inilah menjadi diperlukan gerak positif yang menyebabkan penggabungan dan diasosiasi elemen. Bentuk tiap variasi benda dibelah oleh yang lain, dan keempat usur, dari kecenderungan menegaskan sifat kontras mereka secara ekstrem, mengalah kejalan tengah, yang merupakan keseimbangan campurannya. Maka lahirlah hasil yang mampu menerima bentuk.Dan “pemberi bentuk” mamberika kerajaan alam di dunia ini, yaitu minral, tumbuhan, hewan dan manusia masing-masing suatu bentuk yang sesuai beserta sifat khusus yang yang perlu, kebagusan penamilan, susunan yang menkjubkan dan sifat yang luar biasa.Semua ini sebanding dengan faedahnya, menrima bagian kekuatan dari energi [Ruh semsta] dan sinar dari cahaya [Akal] pertama, seperti sifat pada hewan, akal dan kecerdasan pada manusia. Kategori kerajaan alam ini dimulai dengan mineral, diikuti dengan tumbuhan, kemudian hewan lalu manusia, sehingga tingkat akhir (yakni tertinggi) meneral berbaur dengan tingkat awal (yang terendah) tmbuhan, demikian seterusnya, sehingga tingkat akhir (tertinggi) manusia menyentuh tingkat awal (terendah ) malaikat.
Hierarki penciptaan demikian dalam periodisitas makhluk dengan keinginan Allah Maha Tinggi mencapai puncak dan kesempurnaanya pada derajat mannusia dan kemampuannya menerima kesempurnaan tersebut yang terdiri dari pemilikan sarana mental dan kemungkinan fisik yang menjadi ciri watak manusia. Nyatalah dari sini bahwa meskipun mineral, tumbuhan dan hewan yang berbicara mendahlui manusia dalam urutan penciptaan, tujuan akhir semua (pemunculan eksistensi) ini adalah manusia, sesua dengan ucpan: pada mulanya datang pikiran lalu tindakan.
Berkenaan dengan perbdaan dalam bentuk berbagai kategori makhluk dapat dijelaskan sebagai dikarenakan keinginan Allah Maha Tinggi adalah untuk membuat semua yang potensial pada jiwa individual menjadi aktual dengan pengaruh langit-langit dan bintang-bintang.Tapi langit selalu berputar dalam gerak yang cepat.Karena itu perbedaan pada aksi yang bertentangan dari bintang-bintang dapat menghasilkan bentuk yang brbeda pada kategori dasar wujud.

B. Filsafat Jiwa / Psikologi
            Thusi berasumsi bahwa jiwa merupakan suatu realitas yang bisa terbukti sendiri dan karena itu tidak memerlukan lagi bukti lain. Lagipula jiwa tidak bisa dibuktikan. Dalam masalah semacam ini, pemikiran yang lepas dari eksistensi orang itu sendiri merupakan suatu kemustahilan dan kemusykilan yang logis sebab suatu argumen mensyaratkan adanya seorang ahli argumen dan sebuah masalah untuk diargumentasikan, sedangkan dalam hal ini, keduanya sama yaitu jiwa.
            Jiwa merupakan substansi sederhana dan immaterial yang dapat merasa sendiri.Ia mengontrol tubuh melalui otot-otot dan alat-alat perasa, tetapi ia seendiri tidak dapat dirasa lewat alat-alat tubuh. Setelah menyebutkan argumentasi Ibnu Miskawaih mengenai jasmaniah jiwa dari sifatnya yang tak dapat dibagi, kemampuannya untuk membuat bentuk-bentuk baru tanpa kehilangan bentuk-bentuknya yang lama, pemahamannya akan bentuk-bentuk yang bertentangan pada waktu yang sama, dan pembetulannya akan ilusi rasa.
            Thusi menambahkan dua argumentasinya sendiri.Penilaian atas logika, fisika, matematika, teologi, dan sebagainya, semuanya ada dalam satu jiwa tanpa tercampu baur, dan dapat di diingait dengan kejelasan yang khas, yang mustahil ada didalam suatu substasi material.Oleh karena itu, jiwa merupaka suatu substansi immaterial. Lagipula, akomodasi fisik itu terbatas, sehingga seratus orang tidak dapat ditempat disebuah tempat yang dibuat untuk lima puluh orang, hal ini tidak berlaku bagi jiwa. Dapat dikatakan bahwa jiwa mempunyai cukup kemampuan untuk menempatkan semua gagasan dan konsep objek yang dikenalnya ke dalam banyak ruang agar siap pada waktu diperlukan.Ini juga membuktikan bahwa jiwa merupakan suatu substansi yang sederhana dan immaterial.
            Dalam ungkapan umum “kepalaku, mataku, telingaku,” kata “ku” menunjukan individualitas (huwiyyah) jiwa, yang memiliki anggota-anggota tubuh ini, dan bukan jasmaniahnya, memang, jiwa memerlukan tubuh sebagai alat penyempurnaan dirinya, tetapi ia tidak begitu dikarenakan pemiliknnya akan tubuh.

            Thusi menambahkan jiwa imajinatif yang menempati posisi tengah diantara jiwa hewani dan manusiawi.Jiwa manusiawi ditandai dengan adanya akal (nutq) yang menerima pengetahuan dari akal pertama. Akal itu ada dua jenis: akal teoretis dan akal praktis, sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles. Dengan mengikuti ppendapat Al-Kindi, Thusi beranggapan bahwa akal teoretis merupakan suatu potensialitas, yang yang perwujudannya menckaup empat tingkata, yaitu akal material (aql-i hayulani), akal malaikat (aql-i malaki), akal aktif (aql-i bi al-fi’l) dan akal yang diperoleh (aql-i mustafad).Pada tingkatan akal diperolehlah setiap untuk konseptual yang terdapat yang terdapat di dalam jiwa menjadi nyata terlihat, seperti wajah seseorang yang ada didalam kaca yang dapat dilihat oleh orang tersebut. Dipihak lain, akal praktis bekenaan dengan tindakan-tindakan yang tak sengaja dan yang sengaja oleh karena itu, potensialitasnya diwujudkan lewati tindakan-tindakan moral, kerumah tanggaan dan politis.
            Jiwa imajinatif bekenaan dengan persepsi-persepsi rasa di sau pihak, dan dengan abstaksi-abstaksi rasional di pihak lain, seingga jika ia disatukan dengan jiwa hewani, ia akan bergantung kepadanya dan hancur bersamanya. Akan tetapi, jika ia dihubungkan dengan jiwa manusia, ia menjadi terlepas dari anggota-anggota tubuh dan ikut bergembira atau bersedih bersama jiwa itu dengan kekekalannya. Setelah keterpisah jiwa dari tubuh, suatu jejak imajinasi tetap berada dalam bentuknya, dan hukuman atau penghargaan jiwa mansiawi menjadi bergantung pada jejak ini (hai’at), yang dikenal atau dilakukan oleh jiwa imajinatif di dunia ini
Imajinasi sensitif dan kakulatif Aristoteles jelas merupakan struktur jiwa imajinatif Thusi, tetapi tindakannya menghubungkan jiwa imajinatif dengan teori hukuman dan penghargaan yang berbelit-belit di akhirat merpakan gagasannya sendiri.Adapun mengenai tradisi yang diterimanya dari Ibnu Sina dan Al-Ghazali, Thusi memercayai lokalisasi fungsi di dalam otak. Dia telah menenpatkan akal sehat (hiss-i mushtarak) dalam ruang otak yang pertama, persepsi (mushawwirah) di awal bagian pertama ruang otak yang kedua, imajinasi dibagian depan ruang otak yang ketiga, dan ingatan di bagian belakang otak.
Ikmu Rumah Tangga
            Dengan menyatakan rasa berutangnya kepada ibnu sina. Thusi mendefinisikan rumah (manziI) sebagai hubungan istimewa antara suami dan istri, orang tua dan anak, tuan dan hamba serta kekayaan dan pemiliknya. Tujuan ilmu rumah tangga (tadbir-i manzil) adalah mengembangkan sistem disiplin yang mendorong terciptanya kesejahteraan fisik, sosil, dan mental kelompok utama ini, dengan ayah sebagai pemegang kendalinya. Fungsi ayah adalah menjaga dan memperbaiki keseimbangan keluarga.
Kekayaan diperlukan guna mencapi tujuan-tujuan pokok pemerintahan diri serta pemeliharaab keturunan.Untuk memperolehnya, Thusi menyarankan agar manusia bekerja secara terhormat dan mencapai kesempurnaan dalam pekerjaan itu, tanpa melaksanakan ketidak adilan, kekejian atau kekejaman.Penataan rambut dan pembersih sampah, tidak diragukan lagi, merupakan pekerjaan menjijikan tapi diperlukan demi kelayakan sosial.
Thusi menganggap menabung harta merupakan tindakan yang bijaksana.Asalkan hal itu tidak didorong oleh sifat tamakdan kikir, dan tidak mendatangkan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga atau mengundang resiko bagi keutuhan dan harga diri seseorang didalam masyarakat. Mengenai kelayakan, secara umum dia membela sikap menengah, orang tak peru mengeluarkan harta kalauu hal itu menimbulkan keberlebihan, kepermanenan, kesalahitungan dan kepelitan.
Bukan kepuasan syahwat, tapi keayahan dan perlindungan atas milikanlah yang menjadi tujuan pokok perkawinan.Intelegensi, integritas, kemungkinan, kesederhanaan, kecerdasan dan kelembutan hati, dan terlebih kepatuhan terhadap suami merupakan sifat-sifat yang harus ada pada diri seorang istri.Memang baik kalau si istri memiliki keterhormatan, kekayaan serta kecantikan, tapi semua ini mejadi tidak berarti kalau tidak dbarengi dengan integensi, kesedehanaan dan kemurnian.Kesejahteraan mengharuskan suami banyak gagasan. Dia boleh saja baik dan bermurah hati terhadap istrinya, tapi kalau sudah menyangkut masalah-masalah yang lebih luas dari rumah tangganya, dia harus menghidar dari kecintaannya yang berlebihan, tidak boleh membuka rahasia dan serta membicarakan masalah-masalah penting dengannya, poligami tidak dikehendaki sebab hal itu bisa mendatangkan kekacauan daam rumah tangga. Wanita pada dasarnya lemah pemikiran dan secara psikologis cembuu terhadap pasangan lain suaminya dalam merebut cinta dan kekayaannya. Dengan berat hati Thusi memberikan kelonggaran berpoligami kepada para raja sebab mereka memerintahkan kepatuhan tanpa syarat, tapi sebagai langkah yang bijaksana mereka disarankan agar menghidari hal itu. Laki-laki bagi keluarga sama dengan jantung bagi tubuh, dan karena satu hati tidak dapat menghidupkan dua tubuh, maka begitu juga seorang laki-laki tidak dapat mengurus dua keluarga. Sedemikian suci kehidupan rumah tangga dimata Thusi sampi-sampai dia menyarankan agar jangan kawin kalau tidak mampu menjaga keseimbangan keluarga.
Mengenai disiplin anak, Thusi yang mengikuti pendapat Ibn Maskawaih, memulai dengan penanaman moral yang baik lewat pujian, hadiah dan celaan yang halus. Dia tidak menyukai celaan yang sering diucapkan serta teguran terbuka, celaan yang seriang diucapkan akan meningkatkan godaan, sedang teguran terbuka akan mengundang keberanian. Setelah memberi mereka aturan-aturan makan, berpakaian, bercakap-cakap, bersikap dan tata cara bergaul dalam masyarkat, anak-anak harus dilatih untuk memilih pekerjaan yang sesuai dengan mereka. Anak perempuan harus dilatih untuk menjadi istri serta ibu yang baik dalam rumah tangganya nanti.

Tusi menutup pembahasan ini dengan menekankan sekali perhatian hak-hak orang tua, sebagaimana ditetapkan oleh Islam. Secara Psikologis, anak-anak baru bisa menyadari hak-hak ayahnya seteah mereka mencapai usia yang membuat mereka bisa mebedakan sesuatu, sedang mengenai hak-hak ibunya, mereka telah melihat dengan jelas awal sekali. Dari sini Thusi berkesimpulan bahwa hak-hak ayah terutama bersifat mental, sedangkan hak-hak ibu bersifat fisik. Jadi dari ayahnya seseorang merasa beruntung karena pengabdian tanpa pamrih sang ayah, dan dari ibunya karena disediakannya makanan, pakaian dan kenyamanan-kenyamanan fisik lainnya.
Terkhir, pelayan bagi sebuah keluarga sama artinya denga tangan dan kaki bagi manusia. Thusi menyarankan agar ia diperlakukan denan baik, sehinga ia merasa tergugah untuk menyamankan sikapnya dengan majikannya. Tujuan utamanya adalah agar ia melayani tuannya atas dasar cinta, penghormatan dan pengharapannya, dan bukan karena kebutuhan, paksaan atau ketakutan, yang membuat ketidaknyamanan didalam rumah tangga.
Ringkasannya : bagi Thusi, rumah adalah pusat kehidupan keluarga. Pemasukan, tabungan, pengeluaran dan disiplin istri, anak serta pelayan, semuanya merupakan pencipta kesejahteraan keluarga.
Politik
Karya Farabi Siyasah al-Madinah dan Ara’Ahl al-Madinah al-Fadilah adalah upaya pertama untuk merumuskan secara filosofis teori teori politik di dalam Muslim.Dia mengguanakan istilah ‘ilm al-madani baik dalam ilmu kemasyarakatan maupun ilmu pemerintahan. Dengan mengikuti pendapatnya, tusi juga memakai istilah siyasat-i mudundalam dua arti tersbut sebenarnya sikapnya terhadap mayarakat negara (tamaddun), kelompok sosial dan kota terutama berasal dari pandangan farabi tentang hal itu.[2]
            Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial.Untuk memperkuat sikapnya, Thusi mengacu pada istilah insan, sebuah kata Arab berarti manusia, yang secara hurufiah berarti orang yang suka berkumpul dan berhubungan.Karena kemampuan alamiah untuk berteman itu[3].(uns-i thaba’i) merupakan ciri khas manusia, maka kesempurnaan manusia dapat dicapai dengan menunjukan sepenuhnya watak ini terhadap sesamanya. Peradaban merupakan nama lain dari kesempurnaan ini. Inilah sebabnya Islam menekankan keutamaan shalat berjamaah.
Kata tamaddun berasal dari kata madinah (kota) yang makna kehidupan bersama manusia yang memiliki pekerjaan yang bebeda-beda dengan tujuan saling membantu dalam memenuhi kebutuhan mereka. Karena tak satu manusia pun bisa mencukupi dirinya sendiri, maka setiap orang membutuhkan bantuan dan kerjasama orang lain. Keinginan setiap manusia berbeda-beda dan begitu juga dengan dorongan yang membuat mau bekerjasama. Beberapa orang bekerjasama demi kesenangan, beberapa yang lain demi keinginan untuk mendapatkan keuntungan, dan beberaa lagi bertujuan untuk kebaikan dan kebajikan. Perbedaan sebab-sebab kerjasama itu mendorong timbulnya pertentangan minat yang bisa mengakibatkan penyerangan dan kitidak adilan. Dengan begitu maka diperlukan pemerintah untuk membuat setiap orang merasa puas dengan haknya tanpa melanggar hak orang lain. Oleh karena itu, pelaksanaan disiplin oleh seorang raja yang adil, yang menjadi penengah kedua setelah hukum-hukum Tuhan.Dia boleh saja melaksanakan kebijaksanaan kerajaan menurut waktu dan keadaan, tapi inipun harus sesuai dengan prinsip-prinsip umum hukum Tuhan.Raja semacam itu, menurut Thusi, merupakan wakil tuhan di bumi, dan merupakan dokter bagi kekerasan dunia.
Dia haruslah memiliki latar belakang, keuarga yang terhormat, bercita-cita tinggi, adil dalam menilai, teguh pendirian, kukuh dalam menghadapi kesulitan, lapang dada dan memiliki sahabat-sahabat yang berbudi baik. Tugas pertamanya dan paling utama adalah mengukuhkan Negara dengan menciptakan rasa cinta diantara kawan-kawannya dan kebencian diantara musuh-musuhnya, juga dengan meningkatkan kesatuan antar sarjana, prajurit, petani dan pedagang-empat kelompok yang ada di dalam negara.
Kemudian Thusi menetapkan prinsip-prinsip etika perang sebagai petunjuk bagi penguasa.Musuh tidak boleh dianggap enteng, seredah apapun dia, tapi perang juga harus dihindari sedapat mungkin, lewat muslihat-muslihat diplomatis sekalipun, tanpa harus melakukan penghianatan. Tapi jika pertentangan tak terelakan lagi, maka serangan harus dilakukan atas nama Tuhan dan dengan persetujuan seluruh anggota pasukan. Pasukan harus dipimpin oleh seorang yang memiliki semangat yang hebat, penilaian yang adil, dan pengalaman di medan perang. Thusi terutama menekankan agar dinas rahasia selalu waspada terhadap gerak musuh. Lagipula, diplomasi menuntut agar musuh-musuh itu, selagi memungkinkan, dijadikan jadi tawanan  perang bukannya dibunuh, dan tidak boleh ada pembunuhan setelah kemenangan dicapai, sebab pengampunan lebih pantas diberikan oleh seorang raja daripada balas dendam. Dalam masalah pertahanan, musuh harus dikejutkan dengan arau sergapan mendadak, asalkan kedudukannya cukup kuat, kalau tidak, maka tak boleh ada waktu terbuang percuma hanya untuk menggali parit, membangn benteng atau bahkan menyelanggarakan perundingan damai dengan jalan menawarkan kekayaan dan menggunakan saluran diplomatik.
Thusi, yang menjabat sebagai wazir Hulagu, sangat waspada terhadap berubahnya pemerintahan kerajaan menjadi despotisme penuh, karena itu ia menasihatkan agar para pembantu raja tidak berusaha menghubungi mereka, sebab dengan menjadi teman mereka tidak lebih daripada berurusan dengan api. Tidak ada jabatan yang lebih membahayakan daripada menteri raja, dan menteri tidak memiliki perlindungan yang lebih kuat untuk melawan rasa cemburu Dewan dan tingkah-tingkah aneh keningratannya daripada sifatnya yang layak dipercaya.Menteri harus menjaga rahasia yang dipercayanya kepadanya dan tidak boleh mencari tahu mengenai hal-hal yang bukan urusannya. Thusi sangat dihormati oleh pemimpin Mongol, meski dia meyetujui pendapat Ibn Muqna, bahwa semakin dekat seseorang kepada raja, haruslah semakin besar rasa hormatnya kepada raja sehingga bila raja memanggilnya dengan sebutan “saudara” maka dia harus memanggilnya dengan sebutan “tuan”.
Sumber Filsafat Praktis
Menurt Thusi, perintah-perintah al-Qur’an diberikan kepada manusia sebagai seorang individu, sebagai anggota keluarga dan penghuni kota atau negara. Pembagian menjadi tiga kedudukan itu denga jelas menggambarkan pembagian filsafat praktis menjadi etika, rumah tangga dan politik, yang dilakukan oleh para ahli pikir Muslim. Hal yang sama berlaku pula bagi isi Ilmu-ilmu ini; tapi dikemudian hari disiplin-disiplin ini deperluas dengan sungguh-sungguh di bawah pengaruh Plato dan Aristoteles. Perkataan Shusstery bahwa “etika merupakan satu-satunya subyek dimana timur tidak meniru barat,” dan bahwa “satu-satunya pengaruh yang dibawa barat ke timur, dalam hubungannya dengan suyek ini adalah metode ilmiah , lebih benar dalam hal masalah rumah tangga dan politik, yang di dalamnya pengaruh Yunani paling sedikit ditemukan daripada dalam hal etika.
Kenabian
Setelah menetapkan kebebasan berkehendak dan kebangkitan kembali tubuh, Thusi lalu menetapkan perlunya kenabian dan kepemimpinan spiritual.Pertentangan minat serta kebebasan individu mengakibatkan tercerai-berainya kehidupan sosial, dan ini memerlukan aturan suci dari Tuhan untuk mengatur urusan-urusan manusia.Tapi tuhan sendiri berada diluar jangkauan indera; oleh karena itu Dia mengutus para nabi untuk menuntun orang-orang.Ini, pada gilirannya, memerlukan penata kepemimpinan spiritual setelah para nabi itu untuk menerapkan aturan suci tersebut.
Baik dan Buruk
Baik dan buruk terdapat di dunia ini.Penonjolan yang buruk tidak sesuai dengan kebaikan Tuhan.Untuk menghidari kesulitan ini, kaum Zoroaster menganggap bahwa cahaya dan kebaikan berasal dari Yazdan, sedangkan kegelapan dan keburukan dari Ahriman.Tapi keberadaan kedua prinsip yang setingkat dan netral itu sendiri melibatkan suatu ketidaksesuaian metafisis.Dengan menolak pandangan tentang dasar ini, Thusi menjelaskan realitas dan obyektifitas keburukan dengan dorongan Ibn Sina, leluhur spiritualnya.
Menurut Thusi, yang baik datang dari tuhan, sedangkan yang buruk muncul sebagai kebetulan (‘ard) dalam perjalanan yang baik itu, kebaikan, misalnya, merupakan bijih gandum yang ditaburkan diatas tanah dan disirami sehingga tumbuh menjadi tanaman dan menghasilkan panen yang melimpah. Keburukan itu seperti busa yang muncul diatas permukaan air.Busa jelas berasal dari gerakan air, bukan dari air itu sendiri.Dengan begitu maka tidak ada prinsip buruk di Dunia ini, tapi sebagai suatu kebetulan yang diperlukan atau hasil dari suatu hal.
Dalam dunia manusia, keburukan kadang terjadi lantaran kesalahan penilaian atau penyalah-gunaan akan karuni Tuhan yang berupa kehendak bebas. Tuhan sendiri menghendaki kebaikan yang menyeluruh, tapi selubung indera, imajinasi, kesenangan, dan pikiran menutupi pandangan kita dan mengaburkan pandangan mental kita, dengan begitu maka kebijaksanaan tidak berhasil memperkirakan akibat-akibat dari tindakan, yang mengakibatkan adanya kesalah pilihan, yang pada gilirannya menimbulkan keburukan.
Lagi, penilaian kita mengenai keburukan selalu relatif sifatnya dan juga metaforis, yaitu bahwa penilaian selalu mengacu pada sesuatu. Misalnya, ketika api membakar gubuk milik seorang miskin atau banjir melanda sebuah desa, suatu pemburukan ditimpakan kepada api dan air. Padahal tidak ada keburukan pada api dan air; malah ketiadaan keduanya akan merupakan suatu keburukan penuh bila dibandingkan dengan keburukan yang kadang ditimbulkan oleh keberadaan keduanya.
Akhirnya, keburukan muncul dari kebodohan, atau akibat dari cacat fisik, atau kekuarangan sesuatu yang bisa mendatangkan kebaikan.Ketakhadiran siang dan malam, kekurangan harta adalah kemiskinan, dan ketiadaan kebaikan adalah keburukan.Oleh karena itu pada hakikatnya, keburukan merupakan ketiadaan sesuatu- sesuatu yang negatif, buka positif.
Mengenai mengapa suatu dosa yang terbatas dikenai hukuman yang tak terbatas dari Tuhan, Thusi menjawab bahwa merupakan suatu kesalahan untuk menisbahkan pahala atau hukuman kepada Tuhan.Sebagaimana yang baik, pada dasarnya dan mesti, pantas menerima karunia dan kebahagiaab abadi, maka yang tidak baik juga, pada dasarnya dan mesti, pantas menerima hukuman dan kesediaan abadi pula.
Logika
Mengenai logika, karya-karyanya meliputi Asas Al-Iqtibas, Syarh-i Mantiq Al-Isyarat, Ta’dil Al-Mi’yar, dan Tajrid fi Al-Mantiq. Karyanya yang disebut pertma memberikan penjelasan yang gamblang mengenai masalah itu dalam bahasa parsi atas dasar logika Ibnu Sina dan Asy-Syfa.
Thusi menganggap logika sebagai suatu ilmu dan suatu alat ilmu. Sebagai ilmu, ia bertujuan memahami makna-makna dan sifat dari makna-makna yang dipahami itu, adapun sebagai alat, ia menjadi kunci untuk memahami berbagai ilmu. Kalau pengetahuan tentang makna dan sifat dari makna-makna itu menjadi sedemikian berurat akar di dalam pikiran sehingga tidak diperlukan lagi pemikiran dan refleksi, ilmu logika menjadi suatu seni yang bermanfaat (san’at), yang membebaskan pikiran dari kesalah pengertian di satu pihak, dan kekacauan di pihak lain.
Setelah mendifinisikan logika, Thusi, sebagaimana Ibnu Sina, memulai dengan pembahasan pendek mengenai teori pengetahuan.Semua pengetahuan adalah konsep (tashawwur) tau penilaian (tashdiq); yang pertama bisa di dapat lewat definisi dan yang kedua lewat silogisme.Dengan begitu, definisi dan silogisme merpakan dua alat untuk mencapai ilmu pengetahuan.
Tidak seperti Aristoteles, Ibnu Sina membagi semua silogisme menjadi slogisme kopulatif (iqtirani) dan silogisme ekseptif (iatitsna’i).Thusi mengikuti pembagian ini dengan menggabungkannya dengan caranya sendiri.Karya-karyanya dalam bidang logika secara garis besar bercorak logika Aristoteles, tetapi dia tidak menyebutkan tiga bentuk silogisme; melainkan empat sumber, dan sumber dari bentuk keempat ini terdapat pada Organon-nya Aistoteles atau pada karya-karya logikanya Ibnu Sina.


[1] http:/ / demimasa2.tripod.com
[2]Ara’Ahl  al-madinah  al-Fadhilah, hal , 53-58
[3] Bandingan teori mengenai kemampuan sosial alamiah ini dengan pandangan Hobbes mengenai manusia yang  “sendiri, melarat, kotor, kasar, dan pendek (Roger students’ History Of Philosophy hal 254)
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar